Untuk tulisan ini saya akan mengutip ayat Tuhan, tapi tidak ada hubungannya dengan identitas saya. Benar-benar tidak penting siapa seseorang, apa jabatan, atau status sosialnya.
Dunia akhirat yang terpenting adalah apa yang dia lakukan untuk orang banyak, dicatat atau tidak, diketahui atau tidak, dipuji atau tidak, mendapat award atau tidak, memperoleh tanda jasa atau tidak. Juga karena Tuhan berfirman tidak khusus kepada umat-Nya dengan identitas tertentu.
Nabi dan rasul pun cuma dilewati untuk disampaikan kepada semua jin dan manusia. Memang dalam pemahaman budaya selalu disebut ”nabi mendapat wahyu”, tapi maksud sebenarnya adalah Tuhan memberi guidance kepada semua makhluk-Nya melalui nabi, tepatnya melalui Rasul. Sebab Nabi, dengan nubuwwat, tidak memperoleh license untuk membimbing umat manusia sebagaimana Rasul dengan Risalat.
Ayat ini saya pilih tidak untuk berdakwah, bertablig atau untuk ”tulisan religi” atau apa pun jenis kotak-kotak penjerat kecerdasan dan kemerdekaan berpikir manusia. Kalimat Tuhan ini saya kutip karena sangat substansial dan relevan untuk didengarkan dan dihayati oleh setiap manusia dari bangsa Indonesia menjelang tiba di gerbang ketentuan akan bangkit atau hancur.
Tahun 2008 akan merupakan saat-saat sangat licin dan berbahaya bagi pikiran, bagi setiap visi dan misi, bagi segala aktivitas intelektual, ideologi, konstitusi, manajemen kepemerintahan, wacanawacana aktivisme di semua wilayah kegiatan bangsa Indonesia. Kalau pelaku-pelaku terpenting dari jalannya manajemen negara ini lolos tidak terpeleset, atau terjerembab, atau terjerumus ke jurang dari jalanan licin itu, kita punya kemungkinan untuk selamat.
Kalau apa yang selama ini berlangsung tidak bergerak menuju perubahan-perubahan yang signifikan, maka kecemasan adalah tindakan mulia. Mungkin sangat sedikit di antara kita yang memerhatikan bahwa puncak-puncak dari makin banyak dunia aktivitas—apa itu kesenian, ormas, budaya ketokohan, institusi kepemerintahan, dsb—sedang satu persatu ”dipelorotin celananya” oleh sejarah, lebih amannya: oleh Tuhan.
“Dipelorotin celananya” itu maksudnya ditunjukkan kepada publik wajah mereka yang sebenarnya. ”Aurat” mereka yang selama ini ditutupi dengan hedonisme informasi, dengan feodalisme budaya, dengan disinformasi intelektual, dengan kegelapan spiritual: dikuakkan, dibuka, dibelejeti, satu demi satu.
Ada yang semua orang melihatnya dengan transparan, ada yang perlu satu dua lapis ilmu untuk mengetahuinya, ada yang memerlukan kecerdasan khusus untuk memahaminya. Alam, nature, Tuhan, hukum sejarah, sedang mendaftari satu demi satu jagoan-jagoan sejarah untuk kena batunya.
Ada yang dipelorotin celananya melalui narkoba, ada yang terjerat kasus-kasus, ada yang melorot ke jurang pelan-pelan diseret oleh perilaku dan pernyataan-pernyataannya sendiri, ada yang melalui pengelupasan pelan-pelan bahwa orang-orang yang selama ini didewakan oleh masyarakat itu sebenarnya sekadar seorang katak dalam tempurung.
Dalam hal yang terakhir ini yang kita kutuk adalah tempurungnya, yakni faktor-faktor di lingkungan primernya yang membuat tokoh yang baik, yang dijunjung orang, yang dihormati seluruh bangsa atau umat: pada suatu saat tampak di depan umum bahwa dia katak dalam tempurung. Katak dalam tem-purung tentu saja bermakna dia tidak benar-benar mengerti persoalan-persoalan masyarakat.
Selama berpuluh tahun atau atas sesuatu hal, tokoh kita itu tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh informasi yang memadai dan kredibel secara ilmiah, tidak membawa kepadanya ”bau persoalan” itu agar nuraninya menghayati. Maka produknya adalah persepsi yang bukan hanya salah atas suatu persoalan, tetapi bahkan terbalik, dan kemudian melahirkan penyikapan dan pernyataan yang memalukan dan mempermalukan dirinya, lambat atau cepat.
Nanti akan berkembang ke konteks moral kemanusiaan maupun akhlak keagamaan. Orang yang baik dan tokoh yang hebat bisa tiba-tiba menyandang dosa besar karena dia tidak mempersepsi sesuatu melalui metodologi tabayyun yang maksimal.Tabayyun itu konfirmasi dan rekonfirmasi, check and recheck, mendata lengkap, melakukan mapping secara objektif, menyelenggarakan analisis secara adil, kemudian mengambil kesimpulan dan keputusan yang arif dan indah.
Kalau katak dalam tempurung itu hanya menyangkut orang terpeleset di pasar, orang kecebur sumur, atau bentrok RT ini melawan RT itu, mungkin tidak terlalu besar dampaknya.Tetapi kalau katak dalam tempurung itu menyangkut masalah-masalah nasional, persoalan dasar kerakyatan yang menyangkut ribuan atau jutaan orang, celakalah semua orang.
Terpaksa saya tidak akan menyebut identitas apa pun, personal atau institusional, justru karena tingkat licinnya jalan bangsa kita menuju gerbang itu memaksa kita menggunakan kearifan berlapis-lapis.
Kita harus menjadi orangtua sepuh berumur 330 tahun karena yang kita hadapi adalah taman kanak-kanak yang jumlah siswanya 240 juta orang. Tuhan berfirman dengan pola komunikasi diskusi: “Yang kalian benci dan singkirkan itu mungkin justru yang baik dan kalian perlukan. Sementara yang kalian junjung-junjung tiap hari itu mungkin yang berbahaya bagi kalian…”
Sepertinya Tuhan harus lebih berterus terang di hari-hari depan bangsa Indonesia ini, dan sama sekali tidak bisa mengandalkan kecerdasan atau iktikad baik kita untuk melakukan rekapitulasi terhadap apa dan siapa yang sebenarnya kita butuhkan dan apa siapa yang sesungguhnya menghancurkan kita.
Seputar Indonesia, 21 Desember 2007
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AlteleSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...