Haji Tuntut, Haji Gugat

56 0 0
                                    

MAAF ya, apa mungkin saya menyewa sepuluh orang pengacara sekaligus? Soalnya, saya bermaksud mengajukan sangat banyak tuntutan melalui pengadilan resmi negara. Kalau hanya satu kuasa hukum, kasihan dia. Akan tumpuk-tumpuk, maraton, dan ekstra lembur. Jangan-jangan malah ia akan menuntut saya untuk perkara "eksploitasi tenaga kerja".

Saya hitung-hitung ada 3 (tiga) kategori tuntutan dengan minimal 11 (sebelas) jenis tergugat, sementara satu jenis tergugat saja bisa menyangkut puluhan kasus. Dengan demikian, tampaknya ada ratusan kasus, yang saat ini dengan sangat teliti sedang dirinci oleh sekretaris saya.

Kategori tuntutan saya adalah kasus pembajakan, penipuan, dan manipulasi. Semoga Tuhan mengizinkan, sebab amat banyak yang saya tuntut. Ada penulis membajak 100% cerita pendek saya, dari sebuah koran nasional dimuat di sebuah majalah wanita terkenal. Kalau perlu, majalah ini saya tuntut juga. Cukuplah mereka sediakan masing-masing Rp 100 juta untuk kasus ini.

Seratus juta rupiah yang lain untuk penulis yang membajak puisi saya. Tetapi, bagi seorang penyanyi yang membajak syair saya untuk diperjualbelikan secara massal, minimal Rp 500 juta. Lantas jumlah yang sama untuk berapa lagu saya yang dibajaknya.

Ada sekitar 80 (delapan puluh) kepanitiaan di berbagai tempat yang hendaknya mulai sekarang menyiapkan uang masing-masing Rp 50 juta saja - karena kemurahan hati saya - karena secara tidak etis dan kurang memperhatikan akhlak mencantumkan nama saya di spanduk, poster acara mereka, mengumumkannya di koran tanpa persetujuan saya. Hal ini amat sangat merugikan nama baik saya, karena sesudah banyak orang hadir di acara tersebut dan ternyata saya tidak ada, lantas yang disalahkan, baik oleh panitia maupun hadirin, adalah saya.

Namun, bagi sekitar 14 (empat belas) panitia yang menjual tiket acara saya tanpa sepengetahuan saya, kemurahan hati saya kurangi. Mereka harus siap uang masing-masing Rp 200 juta, sebab mereka menjual nama dan nilai-nilai luhur yang mereka umumkan untuk kepentingan finansial sekelompok panitia.

Adapun untuk penerbit tabloid dan majalah yang mencantumkan nama saya di boks redaksi tanpa izin, berhubung bisnis mereka konstan, tak bisa lain kecuali saya tuntut Rp 500 juta. Sebenarnya itu sudah jauh cukup baik hati. Kesalahan mereka jauh lebih berat dibanding dengan yang menimpa Gus Dur, tapi saya tidak tega menuntut Rp 10 miliar. Saya ini tidak tega hati.

Kalau para wartawan koran-koran dan redaktur-redaktur, yang mempecundangi saya - misalnya eksposing yang tak lengkap, atau berbagai pola negatif psikologi pemberitaan yang secara halus mendiskreditkan saya sebagai narasumber, saya standarkan Rp 50 juta saja masing-masing.

Namun, untuk koran-koran yang suka memuat omongan saya seolah itu hasil wawancara padahal tak pernah ada kesepakatan untuk wawancara, terpaksa lebih mahal Rp 300 juta. Dan pasti lebih mahal lagi sejumlah redaktur dan media massa yang secara sengaja menggosipkan seolah-olah saya punya hubungan intim dengan seorang penyanyi terkenal dan bintang sinetron: Rp 600 juta. Soalnya, dampak sosialnya sangat tinggi, mempengaruhi stabilitas banyak orang termasuk saya sendiri, di samping menciptakan takhayul nasional yang merugikan bangsa dan negara.

Kemudian, yang lebih serius dan menyangkut nilai kualitatif yang tak main-main, adalah sejumlah kasus manipulasi di dunia kesenian dan dunia intelektual. Pada saatnya nanti akan saya beberkan tanpa tedeng aling-aling. Tapi, pokoknya hasil kerja saya bertahun-tahun di dunia kesenian dibajak legitimitas historinya dan "mahkota"-nya dicopot dari kepala saya.

Belum lagi pada kasus yang lain peran-peran kesejarahan saya pada proses pelahiran dan penumbuhan gerakan tertentu di bidang kesenian tertentu, dimanipulasi sehingga saya "hilang" dari lembaran sejarahnya. Ini menyangkut tak hanya sastra dan teater, tapi juga musik dan penyanyi yang saya sebut di atas. Namun saya tetap bertahan dalam kemurahan hati saya: berat hukuman moral para tergugat itu, namun hukuman materiilnya cukup Rp 150 juta masing-masing.

Meski demikian, pada kasus lain saya terikat pada kemuliaan dan ketinggian dunia kebenaran ilmu dan pendidikan. Sementara ilmuwan yang tiba-tiba saja melontarkan hak paten gagasan saya yang ia dengar beberapa waktu sebelumnya tanpa mengutip sumbernya, terpaksa saya hardik dengan Rp 300 juta. Dan lebih mahal lagi - Rp 600 juta - untuk sebuah institut pendidikan yang selama bertahun-tahun mengumumkan saya adalah salah seorang dosen pengajar di dalamnya, padahal saya tak pernah diberi tahu.

Untuk sementara saya menunda kasus lain, karena yang sudah terdaftar saja sedemikian banyaknya. Lagi pula masing-masing harus disidangkan satu per satu, dan sebuah pihak bisa terlibat dalam proses peradilan berulang kali.

Saya berharap, sebelum saya dipanggil Tuhan kelak, setidaknya seperempat dari kasus-kasus ini sudah selesai disidangkan. Satu hal yang saya mohonkan kepada Anda semua, jangan beri tahu para tertuntut itu bahwa begitu mereka menyodorkan uang tunai atau cek sejumlah yang saya tuntutkan, akan langsung saya kembalikan kepada mereka masing-masing.

Setujukah dengan apa yang saya rencanakan ini? Soalnya, terus terang saja niat saya besar, namun keraguan di hati kecil saya juga tak kalah besarnya.

Memang saya terpengaruh oleh Gus Dur, senior saya di "Partai Jombang", yang menuntut koran Pelita, tabloid Jum'at dan Salam, serta oleh Pak Probosutedjo, sesepuh saya dalam kabudayan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang menuntut ilmuwan Yogya, Dr. Yahya Muhaimin. Mungkin juga oleh mantan bupati Tanah Toraja, Andi Lolo, yang menuntut majalah Amanah. Tapi, pasti tidak oleh Diego Maradona yang menuntut sebuah koran masyhur Argentina.

Sayang sekali, saya bloon betul ketika berusaha memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada tuntutan-tuntutan mereka itu. Dalam laut bisa diduga, hati Gus Dur siapa yang tahu. Beliau bukan wong ndeso yang lugu, melainkan seorang pendekar yang mumpuni yang setiap jurusnya lahir melalui langkah-langkah perhitungan dan sasaran yang terlalu rumit untuk bisa dipahami oleh karateka latihan enam bulan macam kita. Tuntutan itu sendiri mungkin bukan yang terpenting, sebab ada target-target pantulan yang tidak bisa kita ketahui dengan persis.

Ada satu dimensi dalam proses sejarah makro nasional kita yang sedang "dipanggang" oleh Gus Dur. Sementara itu, ada sesuatu yang lain yang beliau masukkan ke dalam tungku proses pembusukan yang - tampaknya, menjelang 1992 ini - tingkat percepatannya dipertinggi. Allah wa Gus Dur a'lam. Sayang saya bukan orang yang cukup penting untuk berhak diberi tahu oleh beliau, mercon apa yang sesungguhnya sedang dibanting dan "benda" apa yang sedang beliau perbusuk prosesnya.

Lebih bloon lagi memahami kasus Probo-Yahya. Alangkah berjubelnya pihak-pihak yang digugat oleh Pak Probo. Pertama, si lembut Janoko doktor Fisip UGM itu. Kedua, LP3ES, penerbit buku malang itu. Ketiga, kredibilitas akademis MIT (Massachusetts Institute of Technology) Cambridge, AS. Keempat, eksistensi dan legalitas dunia kebenaran ilmu pengetahuan yang berdomisili universal. Kelima, takhta nilai al-haq di singgasana hati nurani setiap makhluk yang berdomisili di kosmis dan merupakan telaga indah penuh cahaya di permukaan tangan Allah.

Ini semua membuat rancangan tuntutan saya menjadi kacau perspektif dan nalarnya. Tiba-tiba saya juga menjadi malu kepada diri sendiri. Saya pandang-pandang wajah diri ini di cermin: sungguh tak yakin saya bahwa dalam kehidupan ini saya telah menyandang nama baik. Itulah bedanya dengan Pak Probo. Beliau jelas punya nama baik, sehingga orang bisa mencemarkannya. Maksud saya, hanya nama baik yang bisa dicemarkan. Kalau orang tak punya nama baik, mana bisa dicemarkan, lha wong sudah cemar. Ini membuat saya semakin ragu hendak mengajukan tuntutan. Akhirnya saya hibur diri dengan mencari angel yang sepele.

Entah bagaimana kok kasus-kasus tuntutan ini melibatkan orang-orang yang hampir semuanya haji. Pak Probo itu haji, Pak Yahya juga haji, Gus Dur haji, penanggung jawab Pelita juga haji. Pimpinan Amanah juga haji.

Asyik juga lelakon para haji ini. Ada kemungkinan saya harus naik haji dulu, baru memikirkan rancangan untuk menuntut orang.

5 Mei 1991

- Kiai Sudrun Gugat -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang