ADA sejumlah calon presiden sesudah Habibie. Mungkin Sri Sultan Hamengku Buwono X, mungkin Amien Rais, Nurcholish Madjid, Megawati, Wiranto, atau Habibie sendiri. Kali ini kita omong soal yang Raja Yogya saja dulu. Itu pun saya batasi di wilayah “dunia batin”—kita tidak bicara tentang besar kecilnya atau ada tidaknya historisitas sosiologis Hamengku Buwono X di pentas politik nasional.
Orang meributkan “Satrio Piningit”. Suatu idiomatik budaya kebatinan Jawa untuk menyebut calon pemimpin nasional. Di warung, gardu, kantor, juga media massa, orang meributkannya. Ketika PDI Perjuangan berkongres di Denpasar, tulisan-tulisan di media mengarahkan telunjuknya ke putri Bung Karno itu sebagai Satrio Piningit.
Rumus yang juga diotak-atik adalah “Notonagoro”—yang menata negara—yang boleh juga ditulis “Natanegara”. Sesudah (Soekar)no dan (Soehar)to, yang tampil harus (entah) no atau na. Kalau nggak lengkap no-nya, ya pokoknya yang indikatif ke sana. Yang penting, ada unsur n-nya. Jadi, bisa juga Wiranto, Amien Rais, Nurcholish, Akbar Tandjung, Abdurrahman Wahid. Ndak usah lantas ditambah-tambahi, atau dicocok-cocokkan menjadi Wirantono, Amieno, atau Nurcholishno.
Dunia wisik, bisikan gaib, kasyful hijab itu memuat beribu pintu. Ada lalu lintas informasi langit yang sedemikian sunyi, wingit, namun riuh rendah oleh berbagai ragam fatamorgana yang membungkus dan menyelubung petunjuk, inspirasi, ilham, hidayah, karamah, ma’unah.
Ada orang-orang yang murni menempuh riyadh agar Allah mengampuni para pemimpin dan menyelamatkan bangsa ini. Lantas mendapat petunjuk harus berwirid apa, ngaji surah apa, harus menemui siapa sampai tujuh kali. Tapi, ada juga yang ber- istighotsah memohon agar Allah mempercepat azab untuk kita semua, karena para pemimpin sejarah bangsa kita tidak bisa dididik hanya melalui darah dan air mata orang Banyuwangi, Ambon, Sambas, Singkawang, dan seterusnya, melainkan harus dididik oleh darah dan air mata mereka sendiri.
Namun, yang terbanyak adalah inisiatif kasyful hijab—menguak rahasia langit—sebagai respons atas obsesi mengenai kepemimpinan nasional. Di pulau seberang barat, ada Imam Akhir yang akan memandu proses pemberesan masalah di negeri ini. Di Jakarta, ada ibunya Imam Mahdi. Di daerah timur, ada tokoh yang kabarnya beberapa tahun lagi akan dituntut oleh rakyat banyak agar memimpin negeri ini, dan sekarang beliau sedang mengoordinasikan seluruh roh yang ada di alam semesta, di mana Ratu Balkis dan Baginda Sulaiman rajin bertamu ke rumahnya. Ada juga cucunya Kiai Badal alias Kiai Semar, yang memperingatkan jangan terlalu menghujat-hujat orang yang engkau benci itu kalau tidak ingin “perjalanan gempa” akan terus berlanjut sampai menjelang tahun 2001.
Tenang saja. Kita tak usah memperdebatkannya—lebih baik Anda menghitung berapa persisnya jumlah saudara-saudara kita yang mati di Ambon, Sambas, Singkawang, dan seterusnya.
Di antara banyak berita kasyaf, salah satunya memang tentang Hamengku Buwono X, yang nama aslinya Herjuno, gelarnya Pangeran Mangkubumi, yang sekarang sudah mampu melakukan kontak langsung dengan Ibu Ratu Alam alias Nyi Roro Kidul. Dalam berita ini, sang Nyai inilah bersama Bung Karno, Syeikh Maulana, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kesembilan), yang paling menentukan siapa presiden kita sesudah Habibie. Tokoh lain, seperti Kartosuwiryo yang tinggal di Cilacap, berperan bersama Bung Karno dan Hamengku Buwono IX serta sejumlah sesepuh pemangku negeri lain—hanya dalam hal Dana Ampera, pendaman kekayaan Nusantara, yang pada saatnya nanti akan dipakai menyelamatkan bangsa.
Bingung, ya? Nggak apa-apa, namanya juga Orde Bingung. Yang kabarnya akan menjadi pemimpin nasional baru itu bukan Satrio Piningit, melainkan Satrio Pinilih.
Satrio Piningit itu bukan orang, melainkan ‘ilm atau quwwah. Ia adalah wujud, tapi bukan bentuk. Ia “wahyu” (bukan dalam pengertian Quran) atau energi kekuasaan yang akan merasuk ke dalam diri manusia yang diistilahkan Satrio Pinilih. Bahasa Arabnya: Rajulun Mukhtar.
Alkisah, menurut berita ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X inilah Satrio Pinilih. Di atas Keraton Yogya, sekarang ini sudah manjing bukan hanya “wahyu” Satrio Piningit, melainkan juga tiga energi langit lainnya. Yakni, pertama, “wahyu” Ratu Adil Trenggalek. Bukan kota Trenggalek, melainkan suatu sasmita aji, ilmu dasar yang mengawinkan kekuasaan dengan keadilan. Kedua, “wahyu” Nuswantoro Abang Putih, yang selama ini digembalakan oleh roh Ndoro Purbo yang makamnya di Semaki, Yogya. Ketiga, “wahyu” Dwitunggal—dua tongkat milik Bung Karno dan Hamengku Buwono IX yang menyatu dan menjadi acuan desain Monas.
Akan tetapi, Hamengku Buwono X harus bekerja keras mengubah, mengembangkan, dan mematangkan dirinya untuk benar-benar nantinya mampu menyangga kekuatan-kekuatan itu. Ia butuh dua penyangga: Sodo Lanang dan Dahono Mulat.
Apa lagi ini? Pokoknya, dengerin aja: sodo itu lidi. Lanang itu lelaki. Perlambang dari kekukuhan menancapnya akar, sekaligus ia berujung jalu, alias taji—melambangkan kesaktian. Sodo itu harus disepuh dengan galih asem. Adapun Dahono Mulat itu semacam Pusaka Api Abadi. Secara tradisional dan turun-temurun di Keraton Yogya api abadi adalah Kiai Wiji. Tetapi, Hamengku Buwono X mencarinya sendiri dan menemukan pusaka api Kiai Pamurasan, yang dalam upacara Gelar Budaya beberapa tahun yang lalu di Keraton Yogya dipergunakan untuk menyalakan 99 obor Asmaul Husna.
Sekarang ini, Indonesia sedang mengalami “musim salju”. Banyak orang bikin patung-patung salju, bermain-main kesementaraan dan kesemuan. Mereka berjalan ke masa silam, tenggelam dalam kebekuan, patung saljunya nanti meleleh. Sebagian yang lain diam-diam menyiapkan benih-benih yang nanti pada “musim semi” akan sudah mulai tumbuh tanamannya. Anda sendiri yang memutuskan apakah hal Hamengku Buwono X ini patung salju atau persemaian benih masa datang.
GATRA, April 1999
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AcakSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...