Islam mengenal dua hari raya. Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya sama-sama dan bekerja sama menerjemahkan konsep tauhid sebagai satu-satunya kemungkinan tempat kembali ujung hari setiap manusia dan makhluk hidup lainnya.
Istilah “hari raya” sesungguhnya merupakan penerjemahan kultural, sehingga tidak tepat betul secara epistemologi. Arti “raya” menjadi tegas ketika diucapkan perayaan. Ia menunjuk ke suatu keadaan dan perilaku riang gembira karena suatu kemenangan, yang diwujudkan dalam bentuk “pesta” atau bahkan hura-hura tertentu.
Oleh karena itu, Idul Fitri yang diselenggarakan oleh masyarakat kita didominasi oleh aksesori kulturalnya. Padahal substansinya Idul Fitri dan Idul Adha bukanlah itu semua. Kedua-duanya adalah Hari Kembali, atau kalau kita lengkapi: Hari kembali ke keadaan fitrah (sejat), serta kembali dari qurban, sebagaimana puasa Ramadhan juga membawa efek yang sama.
Kata qurban itu sendiri tidak bermakna sama dengan korban seperti yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Korban berkonotasi negatif, mengandalkan pelepasan sesuatu dari seseorang kepada orang lain melalui suatu peristiwa yang sebenarnya tak dikehendaki. Korban perang, korban perkosaan, atau korban bencana alam, dan seterusnya, tak didukung oleh haqnilai. Sementara qurban berlainan sama sekali. Ia berarti menyampaikan (bukan memberikan) sesuatu yang merupakan “milik” (dengan tanda petik) kita kepada sesuatu, orang, atau Tuhan, yang memang sebenarnya berhak (haq) atas sesuatu itu.
Ketika Ibrahim menyembelih Ismail, putranya, dan ketika sang anak itu merelakan nyawanya, tidaklah berarti Ibrahim mengorbankan anaknya dan Ismail mengorbankan hidupnya. Yang mereka lakukan adalah keikhlasan menyampaikan kembali milik Allah kepada Allah.
Penyerahan kembali itu—yang nanti bisa kita terjemahkan dalam berbagai skala—merupakan metode untuk melebur, menyatu atau bertauhid kepada, dengan, bersama, dan bahkan “menjadi” Allah. Saya harus torehkan tanda petik pada kata menjadi itu, karena pemahaman semua makhluk terbentur pada biasnya belaka.
***
Manusia tidak pernah tahu-menahu mengenai kelahiran dan hakikat adanya. Ia tak pernah merancang, bahkan juga tak pernah meniati bahwa ia akan lahir dan menjadi seorang anak manusia, menjadi putra ibu bapaknya, yang kemudian oleh kebudayaan ia dirumuskan menjadi “Soeharto, Presiden Republik Indonesia….”
Ia, manusia, dengan demikian juga tak pernah—dalam arti yang sesungguhnya—memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Ia ada karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Ia “memiliki” sesuatu dalam keberadaannya itu bukan karena haq-nya adalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepadanya. Ia bisa berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan karena sejak semula ia merencanakan dan menentukan bahwa ia bisa berjalan dan menggerakkan badan, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya bisa berjalan dan menggerakkan badan.
Sesuatu dengan “S” besar itu, yakni satu-satunya yang ada dan pasti ada, yang sejati dan pasti sejati, memiliki hak seratus persen untuk menagih atau meminta kembali segala milik-Nya, kapan pun dan di mana pun, serta dengan cara yang bagaimana pun. Hak Tuhan itu gugur apabila ada seseorang yang mampu menciptakan dirinya sendiri.
Dalam pemahaman seperti itu, maka yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail “hanyalah” mengembalikan hak Allah kepada Allah, tak ada apa pun yang hilang dari keduanya dengan penyembelihan itu, karena memang aslinya mereka tak pernah ada dan tidak memiliki apa pun, juga “diri”-nya sendiri.
***
Yang menjadi pangkal persoalan dalam sejarah umat manusia adalah bahwa sesudah melahirkan dan ada, setiap manusia memahami “barang pinjaman” itu sebagai “barang milik”-nya. Seorang Ibrahim bisa merasa posesif terhadap Ismail karena ia anaknya dan sangat dicintainya. Ismail juga dihinggapi “rasa memiliki” atas dirinya sendiri, atas nyawanya, atas seluruh kehidupannya, bahkan atas segala sesuatu yang bisa dinikmatinya.
Maka ketika kemudian mereka mengikhlaskan “milik” itu diminta kembali oleh Yang Maha Empunya, Ibrahim dan Ismail mencapai tingkat fithri dan sukses menghayati makna qurban, sambil sama sekali tidak merasa sedang “mengorbankan diri”.
Dari titik pemahaman ini, kita bisa menghimpun pertanyaan-pertanyaan. Berdasarkan hak historis apa kumpulan manusia menganggap diri dan bumi ini milik mereka sehingga lantas mereka lahirkan sistem-sistem yang “mengatur hak milik”. Tidak cukup kita hanya membedakan bahwa idiom “pemilikan” itu adalah “bahasa negara” atau “bahasa hukum formal”, sementara “pinjaman” adalah “bahasa agama”.
Ada bahaya besar apabila agama terlalu diletakkan hanya dalam pemahaman sosiologis seperti itu. Ketika pertengkaran tentang “pemilikan” itu berkepanjangan merusakkan dunia dan meledakkan perang demi perang, umat manusia kehilangan cakrawala untuk mengadukan penderitaannya. Apalagi mereka sesungguhnya diam-diam—melalui modernitas ilmu di kampus-kampus, bahkan pun melalui tradisi-tradisi sehari-hari—mereka makin lama makin kehilangan kepercayaan terhadap Idul Fitri dan Idul Adha. Orang melakukan penyembahan kepada Allah sekadar merupakan usaha menempelkan katup mental yang melindungi mereka dari kecemasan-kecemasan asing dalam diri mereka di ujung petualangan dosa, kekeliruan ilmu, dan kerakusan budaya. Mereka tidak memahami Tuhan dan agama sebagai huwal awwalu wal akhiru, sebagai pangkal dan ujung pengembaraan setiap dan semua manusia; dari mana dan kepada apa segala pemikiran, rekayasa, ideologi, keputusan-keputusan pergaulan kecil maupun pergaulan besar bersumber.
***
Kehidupan umat manusia dewasa ini terletak di tempat yang sudah berjarak amat jauh dari keseyogiaan yang bisa kita pahami melalui agama tentang kehidupan ini.
Misalnya, semangat Idul Fitri dan Idul Adha bertolak belakang dengan “egosentrisme” kekuasaan atau monopoli ekonomi. Bahkan juga segala bentuk primordialitas, eksklisivisme, dan kesepihakan yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan. Ibrahim diperintah oleh Allah—secara substantif—bukan untuk menyembelih Ismail, melainkan untuk menaklukkan dan memusnahkan kesepihakan dan egosentrisme rasa memiliki diri sendiri dan rasa memiliki anaknya. Diri Ibrahim dan diri anaknya adalah milik Allah dan harus disampaikan kembali kepada-Nya.
Allah itu, pengejawantahan atau perwujudan atau penjelmaan-Nya dalam kehidupan (tak hanya penjelmaan-Nya di bumi) adalah berupa kesatuan dan kebersamaan seluruh makhluk, atau dalam perspektif yang lebih sempit; kebersamaan antar manusia—yang darinya pemikiran seperti demokrasi atau egalitarianisme dilahirkan.
Seluruh alam dan penghuninya adalah penjelmaan Allah. Juga kita. Tatkala Allah meminta kembali Ismail dari Ibrahim, Ia bukan sedang melakukan monopoli. Sebab dengan kesetiaan bapak-anak itu kepada-Nya, berlangsung proses penyatuan antara kehendak manusia dengan kehendak Allah. Hasil dari setiap penyatuan adalah menjelmanya “dua” menjadi “satu”. Itulah tauhid. Dan tentulah, sesudah penyatuan itu, si satu bukanlah manusia, melainkan Allah. Maka di dalam “Kesatuan” atau “Satu” itu tak ada monopoli: Ismail kembali menjadi miliknya sendiri di dalam Allah.
Sesungguhnya betapa relevan dan “historis” seluruh sumber nilai yang kita kenali melalui agama itu terhadap segala yang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbangsa dan bernegara. Di sekitar kita, juga pada diri kita sendiri, betapa terdapat banyak Ibrahim yang tak bersedia menyembelih kesepihakan, egoisme, monopoli, olipologi, ekslusivisme, subjektivisme beserta saudara-saudari sekandungnya. Betapa banyak juga Ismail-Ismail yang menipu diri sendiri dengan tak bersedia disembelih “rasa memiliki secara sepihak”-nya, sehingga mereka atau kita akan akan pada akhirnya menjadi “kambing yang tersembelih” oleh kekuatan kebenaran dalam sejarah atau oleh keterjebakan hidup kita sendiri yang baru kita sadari beberapa hari menjelang ajal.
Mereka-mereka yang naik haji di setiap bulan haji, juga tak bisa dijamin bahwa mereka akan membawa pentas egalitarianisme di seputar Ka’bah itu ke kampungnya. Tak bisa diharapkan bahwa mereka akan mencopot pakaian-pakaian semu, pangkat-derajat-kekayaan keduniawian sebagaimana mereka diajari berdemokrasi selama berihram. Tak bisa didambakan juga sepulang naik haji mereka akan setiap saat membawa batu untuk melempari potensi dosa dan keserakahan mereka sebagai dicontohkan tatkala melakukan Jumrah.
Orang-orang yang naik haji tidak otomatis “membawa madu” ke kampung halamannya sebagaimana jenis makanan-minuman itu melambangkan makna haji. Mereka tak bisa dijamin akan berperilaku madu, berkata-kata madu dan ber-SK-SK madu. Bahkan di antara mereka sibuk mengulang-ulang naik haji sementara tetangga-tetangganya (di era informasi ini tetangga bukan lagi sekadar kawan sebelah rumah) membutuhkan santunan dari kemelaratan, ketertindasan, dan kesengsaraan. Lebih celaka lagi mereka yakin bahwa haji mereka insya Allah mabrur. Allah begitu digampangkan.
Bernas, 22 Juni 1991
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...