Pada suatu malam, Jon Pakir terselip di antara kerumunan seniman-seniman yang ngobrol di sebuah warung.
Tentu saja asyik. Seniman itu biasanya otaknya "tidak normal" dan imajinasinya liar bak babi hutan. Obrolan mereka tak kalah serem dibanding sidang kabinet maupun ketika anggota parlemen beristirahat dan memperbandingkan cewek ini dan itu.
Obrolan para seniman ini semula berkisar pada karya-karya besar kesenian dunia. Salvador Dali yang sinting, Dickinson yang anggun, atau Neruda yang progresif. Kemudian soal politik kebudayaan yang berlaku di muka bumi, sistem-sistem yang menguasai perkembangan kesenian, atau bagaimana seni rupa Indonesia diperbarui definisinya sehingga hilang definisi.
Tapi tan soyo dalu tan soyo memble. Tema bergeser ke soal Moi Indie, yakni sebutan untuk wanita yang berpenampilan tradisional. Atau puisi konkret - untuk menggambarkan keindahan atraktif turunan Ibu Hawa. Setiap reference baru mengenai cewek akan disebut the new comer dari daerah.
Sampai akhirnya salah seorang menggerutu: "Kita ini omong tinggi-tinggi tentang kebudayaan dan masyarakat, tapi akhirnya hanya lari ke syahwat ...."
Jon jadi ingat sebuah ceramah mengenai "potensi syahwat" dalam perilaku politik, perilaku ekonomi, serta dalam pengelolaan berbagai modal negara dan masyarakat. Maksudnya bukan naluri seks dalam semua ini, melainkan bagaimana kebinatangan, kejagoan, ketakutan ... malang melintang di sekitar kita. []
- Secangkir Kopi Jon Pakir -
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...