UMAT kemarin kita omong-omong soal Yaumul Marhamah, hari kasih sayang “versi Islam” yang diambil dari peristiwa mulia dan aspirasi demokrasi-plus Muhammad SAW.
Itu salah satu di antara sangat banyak kejadian sejarah sarat makna yang diizinkan Allah berlangsung pada bulan Ramadhan. Hari kasih sayang versi Rasulullah Muhammad SAW itu mengandung dimensi-dimensi nilai yang tak terkirakan kadar kemuliaan sosialnya, keintiman kasih sayang universalnya, strategi cinta yang beyond kelompok, negara, pemetaan-pemetaan politik, kepercayaan diri yang luar biasa dalam konteks militer dan keterpaksaan dalam permusuhan.
Bahkan, selama Muhammad SAW terlibat dalam sejumlah peperangan karena dimusuhi, strategi yang beliau terapkan bukan “bagaimana memusnahkan musuh setuntas-tuntasnya”, tapi “bagaimana meminimalisasi korban sampai sesedikit-sedikitnya kematian pada kedua belah pihak”.
Peristiwa Fathu Makkah itu diabadikan oleh Allah di Surat Al-Fath, perkenan dan proklamasi kemenangan fathan mubina, kemenangan sangat nyata. Proklamasi itu dipaparkan dengan klausul-klausul permaafan atas dosa-dosa para pejuang murni, dosa yang lalu maupun yang masa kini, klausul penyempurnaan nikmat, serta klausul pertolongan-pertolongan besar atas masalah-masalah mereka.
Yang menurut saya sangat penting dari Yaumul Marhamah bukanlah kemenangan atas musuh. Maka ia tak disebut Yaumul Fath, hari kemenangan, melainkan hari kasih sayang. Karena pasalnya bukan terutama kemenangan kekuatan manusia atau kelompok atas kelompok atau manusia lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas nafsu sendiri.
Kemenangan untuk tidak memusuhi meskipun dimusuhi. Kemenangan untuk tidak membenci orang yang memerangi kita. Kalau terpaksa meladeni peperangan, bela diri atau persaingan, itu dilakukan karena tidak diberi formula dialektika yang lain. Sehingga itu kita lakukan tetap dalam kesadaran kasih sayang kemanusiaan dan kemakhlukan.
Jika “terpaksa” menang, tidak kita nikmati dan rayakan kemenangan atas pihak lain itu karena yang substansial dan mengandung kemuliaan adalah kemenangan atas diri sendiri, kemenangan atas sifat-sifat rendah di dalam diri kita sendiri. Secara “GR” saya merasa sedang menjalani proses sejarah yang sama, atau yang “saya disama-samakan” dengan pengalaman Rasulullah itu. Ampun-ampun bukannya sok, tapi beraninya mengacu hidup ini ya kepada Rasulullah. Jatah hidup beliau 63 tahun, jadi saya tak berani membayangkan akan hidup lebih dari 63 tahun, meskipun itu semua hak Allah.
Tigabelas tahun sudah forum bulanan “Padangbulan” saya di Jombang beserta “anak-anaknya bulanan” juga di 5 wilayah lain: Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, termasuk “Kenduri Cinta” di Jakarta. Juga di tempat-tempat lain yang sporadis, di samping keliling tak henti ke seluruh pelosok Nusantara, dengan meninggalkan dunia ekspose, media massa, dst. Itu semua sejak setahun yang lalu saya batasi sampai Ramadhan atau Agustus kemarin.
Tigabelas tahun Rasulullah di Mekkah berjuang dan memperoleh 180 sahabat penyujud Allah. Tigabelas tahun era Padangbulan saya mendapatkan ketidakpahaman publik, fitnah dan sinisme massal, namun alhamdulillah dianugerahi juga sangat banyak teman di setiap sudut negeri yang setia “bercinta” di antara jaringan kami. Khusus Kiai Kanjeng yang dicampakkan Allah ke Vatikan, Helsinki, London, Napoli, Elfayoum, Sydney dan 30 kota lain di dunia: di Tanah Air mereka melahirkan ratusan bahkan ribuan “anak-anak”.
Di satu kabupaten Jawa Timur saja lahir lebih 30 anak-anak Kiai Kanjeng. Ribuan anak-anak itu melakukan hal yang sama dengan Kiai Kanjeng: menyebarkan cinta dan keberdayaan sosial, melagukan nomor-nomor Kiai Kanjeng, menyusun sel-sel formula cinta sosial multidimensi, dengan kesadaran tidak merebut siapa pun dari kelompoknya, apa itu NU, Muhammadiyah, PKS, atau apa juga. Jamaah Maiyah hanya serbuk, bukan pohon politik, bukan ormas, bukan parpol, atau kelompok wadag materiil.
Ramadhan atau Agustus 2007 kemarin batas gerbang zaman bagi orang-orang kecil macam kami. Konteksnya batas akhir Indonesia akan hancur total atau bangkit. Berbagai dimensi lain terkandung di dalamnya, namun tak mungkin diuraikan dalam tulisan singkat ini. Dari skala kecil, setiap keluarga maiyah hingga peta global yang ada, Morales, Ahmadinejad, dan lain-lain, di dalamnya.
Tetapi poinnya bukan fathu Makkah dalam arti kemenangan atas dunia yang memperhinakan kami selama ini. Melainkan kemenangan atas diri sendiri di dalam arus penghinaan dan pelecehan yang luar biasa dahsyat itu selama 13 tahun. Sebagaimana pada peristiwa Ramadhan yang lain, yakni Perang Badar, Rasulullah menyampaikan ungkapan luar biasa bernilai peradaban dunia: “Kita baru saja menyelesaikan dan memenangkan jihad kecil, kini memasuki jihad akbar, yakni perang melawan nafsu diri kita sendiri”.
Perang melawan kerakusan ekonomi, kebodohan dalam ketertindasan, keserakahan agenda-agenda politik kekuasaan yang menjadi kiblat semua pemegang tongkat sejarah. Perang Badar Kubro yang diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai yaumul furqan, hari pembeda antara kebenaran dan kebatilan, dan umat Islam saat itu meraih kemenangan besar, terjadi pada 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah.
Pada pertempuran di bulan Ramadhan ini, 313 (180+133) tentara kaum Muslimin berhasil menghajar telak dan melibas 1.000 pasukan lawan yang maintenance militernya jauh lebih unggul. Rasulullah memberikan dua ilmu atau rumus menjalani kehidupan. Pertama, kepada pasukan Badar yang sangat lemah segala-galanya, Rasulullah berkata:
“Kalian akan ditolong oleh Allah, diberi kemenangan dan rezeki. Tapi itu bukan karena kehebatan kalian, melainkan karena orang-orang lemah yang kalian perjuangkan”. Ilmu dan rumus kedua, Rasulullah tidak bodoh dan irasional untuk memohon kepada Allah “Ya Allah, berikanlah kemenangan kepada pasukan Islam.”
Melainkan suatu pernyataan yang jenius kepada Allah: “Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, ya Allah, maka atas segala ketentuan-Mu atas nasib kami di dunia, la ubali, aku tidak peduli.” Bahasa Jawanya: “Gak patheken!” Mau dihina, diremehkan orang, monggo. Difitnah, disikapi tidak adil, ditimpa pembunuhan karakter, santet, bahkan pembunuhan fisik, silakanlah. Apa saja. Asalkan Allah ridho kepada kita
.Orang yang berpikir linier, menyangka yang akan terjadi pada dirinya dengan sikap itu adalah nasib buruk di dunia. Insya Allah dia keliru. Sebab justru dengan keikhlasan itu engkau siklus lingkar keberkahan: engkau memperoleh cinta Allah dan Rasulullah, juga dijamin kesejahteraanmu, rezeki dan kemenanganmu, sebab dunia dan kehidupan ini milik-Nya. Dan Ia pasti lebih memilih melimpahkan rezeki kepada pencinta-Nya yang tidak membuat-nya “cemburu” karena lebih mengutamakan karier dunia dibanding diri-Nya.
Seputar Indonesia, 28 September 2007
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
OverigSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...