Politik Cakruk dan Festival Salaman

53 1 0
                                    

Saya diingatkan oleh banyak pembaca harian ini tentang terputusnya keranjang sampah saya yang bertemakan politik cakruk. Itu memang hutang saya.

Saya menjawab dengan sebuah ‘lagak’ yang sok, “Mohon maaf tulisan seri cakruk itu memang baru bisa diteruskan kalau sudah ada adegan jabat tangan antara Pak Harto dengan Gus Dur. Dengan kata lain, harus diselenggarakan adegan Genggong Probolinggo itu terlebih dulu, agar soal politik cakruk bisa saya tuntaskan….”

Kemudian akan ada bonus jawaban lain yang akan juga bermakna cukup penting. Insyaallah berlangsung di sebuah masjid Jakarta pada hari pertama bulan depan…. Anda tunggu saja tanggal mainnya. Sejak sekitar setengah tahun yang lalu saya sendiri merindukan peristiwa ini. Namun gagal kami selenggarakan di Yogya. Lantas kaum muda Islam di Padang siap setiap saat untuk menjadi tuan rumah peristiwa salaman yang ini. Namun akhirnya malah insyaallah akan terjadi di Jakarta.

Meskipun demikian saya mohon Anda jangan terlalu romantis, jangan terlalu mendramatisir ritus budaya semacam itu. Jangan ‘gumun’ atau gampang takjub.

Dua salaman antardua tokoh yang sudah berlangsung dan akan berlangsung itu memang bisa menjadi acuan puncak dari apa yang saya maksudkan dengan psikologi politik cakruk.

Inti maksud saya tentang politik cakruk sesungguhnya hanya sederhana.

Yakni kecenderungan sifat kekanak-kanakan kita semua dalam memahami dan menyikapi antagonisme politik, perbedaan pendapat, perseberangan tempat serta semacam nuansa ‘permusuhan’ antara dua figur atau kelompok. Baik yang terkait langsung dengan politik dan kekuasaan praktis, maupun yang lebih luas dari itu.

Sifat kekanak-kanakan yang saya maksudkan adalah semakin tidak dewasanya kita dalam menggenggami rasionalitas berpolitik. Perbedaan dan antagonisme politik oleh banyak kalangan dituntut untuk juga melebar menjadi perseberangan kultural, bahkan perseberangan pribadi.

Sedemikian rupa sehingga karena sifat kekanak-kanakan kita itu bertahun-tahun menganggap Pak Harto dan Gus Dur itu ‘musuhan’, maka begitu mereka saling mengulurkan tangan—kita ‘kejedut’ untuk lantas menganggap bahwa mereka kini sudah kompak. Seakan-akan permasalahan bangsa ini sedemikian sederhana dan datar, serta bisa diatasi cukup dengan solusi bertemunya dua telapak tangan.

Demikian juga perseberangan strategi akan menemukan sintesisnya melalui salaman dua tokoh tertinggi umat Islam di negeri ini, awal bulan depan.

Memang jagat politik memiliki segmen simbolik dan metaforiknya sendiri.

Sejak zaman kerajaan-kerajaan abad dahulu kala, banyak contoh-contoh mengenai rekonsiliasi terbatas yang diungkapkan melalui sejumlah perlambang. Seorang putri Cempa dipersembahkan kepada penguasa Majapahit terakhir untuk menandai peneguhan kembali hubungan baik antara dua kerajaan. Cina dan Amerika Serikat pernah menempuh diplomasi pingpong untuk mencapai suatu kesepakatan substansial antara mereka.

Jabatan tangan antara Gus Dur dengan Pak Harto pun tidak bisa diremehkan dengan dianggap sebagai hanya sebuah momentum ritual yang bersifat artifisial. Namun sebaliknya ia juga tak usah didramatasisasikan menjadi suatu titik temu sejarah yang sedalam dan sesubstansial yang kita bayangkan.

Gus Dur termasuk tokoh yang sangat menjaga takaran dalam hal demikian.

Menjaga jarak yang tepat agar tidak terjebak dalam romantisme kekompakan yang dalam berbagai soal serius sesungguhnya masih bersifat semu.

Sekaligus ia juga memelihara dirinya agar tidak terlalu ringan untuk meremehkannya. Sesudah bersalaman dengan Pak Hartono Kasad di Situbondo, Gus Dur juga bersegera merelativisasikan peristiwa itu. Mungkin agar kita semua tidak terjebak oleh simplifikasi yang membuat kita tidak waspada terhadap kasunyatan politik yang lebih sejati dan tidak pernah transparan.

Seandainya politik cakruk—yang terlalu menekankan dramatisasi dan romantisme kesamaan atau ketidaksamaan—hanya berdimensi psikologis, mungkin tak akan merugikan. Itu bisa kita anggap tergolong gejala love-hate relationship di antara dua tokoh.

Tetapi kalau ternyata kecenderungan mental cakruk itu merasuk dan mempengaruhi kejernihan persepsi terhadap apa yang sesungguhnya terjadi, maka yang mengalami kerugian bukan hanya kaum pengamat politik, bukan hanya para akademisi pemotret kenyataan, tapi juga rakyat banyak.

Apalagi kalau pada saat yang sama romantisme dan dramatisasi antagonisme politik itu diperparah oleh watak industri informasi—yang melihat bahwa permusuhan, konflik dan perseberangan sikap politik—merupakan komoditi primer bagi mekanisme jual beli berita. Lama-lama para wartawan, redaktur dan semua pekerja media, akan tak terasa dirasuki oleh kepercayaan subyektif bahwa memang demikian itulah yang benar-benar terjadi dalam kenyataan.

Pers akhirnya bukan hanya usil dan suka ‘mengarang’ bahwa ini dan itu mau cerai, bahwa Polan pacaran dengan Polin, tapi juga meyakini sepenuhnya bahwa tokoh yang ini adalah opposan, di mana pers menjadi penulis skenario sekaligus sutradara ‘sinteron’ opposisi, lengkap dengan segala kostum dan dialognya.

Oleh karena itu, bukan hanya terhadap peristiwa Situbondo atau kasus Belo-Der Speigel sebaiknya kita bersikap dingin dan jernih. Terhadap festival salaman ini pun saya menganjurkan agar kita jangan terlalu gampang bertepuk tangan atau mudah menitikkan airmata. Monggo ambil jurus adil akal dan muthmainnah kalbu. []

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang