Untuk apa seseorang menulis? Untuk apa penulis bekerja melahirkan karya tulisan? Empat puluh tahun yang lalu, saya menulis karena punya semacam cita-cita untuk menjadi penulis. Di Pondok Modern Gontor Ponorogo tahun 1966 saya menulis hampir satu buku dalam bahasa Arab (yang sekarang saya sudah tidak bisa sebagaimana dulu) untuk keperluan “Muhadloroh” atau praktikum ekspresi, pidato, atau komunikasi publik. Menyesal sekali sekarang tinggal kenangan, entah di mana buku tulisan tangan itu, karena saya mendadak diusir dari Pondok.
Kemudian di Yogya tulisan pertama saya yang dimuat di koran adalah cerita pendek. Kemudian puisi-puisi, sampai kemudian menerbitkan sejumlah buku puisi (juga sesudah buku ini segera saya mempublikasikan Kumpulan Puisi), dan itu membuat orang “menyangka” saya adalah penyair.
“Adalah”, “menjadi”, “to be”—begitu pentingnya bagi manusia, juga pernah bagi saya sendiri, sampai kemudian eksistensialisme itu justru sangat merepotkan saya. Di usia senja saya sekarang, betapa hal itu menggelikan. Perjuangan saya sehari-hari ini adalah membebaskan diri dari label-label, formalitas status, profesi, atau apa pun. Saya selalu menindas diri saya dengan keyakinan bahwa “menjadi” itu pasangan katanya ya “manusia”. Menjadi manusia. Dan ternyata itu saja susahnya bukan main.
Sementara berpuluh-puluh buku esai dan puisi saya terbit dari tahun ke tahun, di samping ratusan atau ribuan tulisan lain yang tercecer, belum terdokumentasi dengan baik, atau ekspresi-ekspresi yang bersifat tidak literer tetapi auditif atau audio-visual—hari demi hari kehidupan saya sungguh-sungguh merupakan kabulnya doa-doa saya kepada Tuhan di mana saya benar-benar tidak punya kesempatan sama sekali untuk “menjadi” apa pun.
Saya hanya dipekerjakan oleh persoalan-persoalan banyak orang: kasus-kasus sosial, bentrok, problem ekonomi orang kecil, masalah rumah tangga, mencari nama ribuan bayi bergilir dari hari ke hari, melayani forum-forum bulanan di berbagai kota, menjadi keranjang sampah dari berbagai buangan-buangan soal.
Kemudian saya tidak mampu melakukan apa-apa atau sesekali sedikit agak bisa. Kemudian dihardik orang, direndahkan, dihina, dihujat, ditimpa pembunuhan karakter, difitnah, diprasangkai, dimintai duit tetapi saya tidak boleh cari duit, disuruh menangani masalah rakyat tetapi saya dilarang menjadi wakil rakyat, disuruh mengatasi ini itu tetapi dilarang menjadi pejabat, disuruh memimpin kegiatan-kegiatan agama tetapi dilarang berposisi di maqam gus, ustadz, kiai, ulama. Serta berbagai-bagai ironi lagi.
Tuhan mengabulkan muatan pikiran saya untuk “tidak eksis”: sehingga saya hampir tidak sempat menjadi diri saya sendiri, melainkan menjadi seseorang menurut orang yang memandang saya, menteori-teorikan saya, mempeta-petakan saya sesuai dengan latar belakang dan subyektivisme mereka masing-masing. Adapun saya sendiri “ketlingsut” di pojok hati sunyi saya sendiri.
Di tengah itu semua sesekali saya “terpaksa” menulis, dan sama sekali bukan karena saya penulis atau karena saya ingin menulis. Melainkan karena proses-proses sosial yang menyandera saya memerlukan tulisan demi tulisan pada momentum tertentu, karena ada satu dan lain hal yang harus disampaikan, diuraikan, dianalisis dan dihikmahi, demi kepentingan solusi sosial dari segala sesuatu yang “menjebak” saya itu.
Kelihatannya, tulisan-tulisan semacam itulah yang Anda baca di buku ini.
Tetapi sekarang, hari-hari ini, saya sedang melakukan upaya pembebasan sosial untuk mengambil diri saya kembali dari penjara-penjara sejarah yang menggelikan tetapi melelahkan itu. Sejarah di mana Negara bukan Negara, di mana pemimpin bukan pemimpin, demokrasi, pemerintah yang tidak tepat bernama pemerintah, serta apa pun yang serba berposisi “konotatif”.
Kita sedang berada di dalam “Era Konotasi”, era ketlingsut-nya “Denotasi”. Tuhan saja pun tidak denotatif. Juga agama, syariat, negara, pegawai (kok) “Negeri”, demokrasi, rakyat, penderitaan, kezaliman, serta hampir semua hal dan kata.
Saya benar-benar harus meloncat ke luar dan menjauh dari pagar, harus mundur sekian langkah, harus mengambil jarak sejauh-jauhnya dari Kerajaan Dunia yang sudah hampir mutlak menindas manusia, memanipulasi kemanusiaan, menghina obyektivitas, merendahkan nilai-nilai yang sesungguhnya merupakan satu-satunya tanda manusia menjadi bukan binatang, bukan hewan, atau setan.
Dari jarak tertentu, di sisa usia senja saya, harus saya peroleh potret-potret sebanyak-banyaknya, sedetail-detailnya, segamblang-gamblangnya dan sedalam-dalamnya—dari pemandangan abad ke-21 kehidupan Nusantara yang (dalam naskah drama “Tikungan Iblis” saya) Iblis pun sudah malas “mingling with” kita semua sekarang ini.
Buku ini, mudah-mudahan bisa menjadi batu loncatan awal.
Kadipiro 13.08.2008
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...