KEMBALI tangisnya yang kesekian kalinya terdengar sampai ke luar dinding kamarnya. Seperti biasanya, tetangga yang bersebelahan rumahnya menjadi terganggu tidurnya. Entah kenapa, tak pernah ia jelaskan kalau ada yang tanya. Barangkali bertengkar dengan suaminya, atau dengan mertuanya, atau dengan anaknya. Tapi rasanya tidak barangkali, sebab dari tadi tak terdengar suara orang bertengkar. Lagi pula, tentunya pada waktu yang sudah begini larut, anaknya dan mertuanya telah menekuri mimpi-mimpinya. Sedang suaminya…. Ah, suaminya telah lama tidak pernah tampak, katanya sedang dinas ke luar kota dan belum kembali. Atau barangkali dia cemburu kalau-kalau suaminya main serong dengan perempuan lain. Tapi rasanya juga tidak barangkali, sebab bukankah suaminya memilih dia sebagai istrinya atas dasar cinta dan ini dia ketahui. Atau….
Tangisnya terdengar kian meninggi, kian menyayat hati. Ini suatu tanda bahwa dia akan menangis lama sekali, biasanya sampai pagi. Tetangganya yang bersebelahan rumah seringkali mencatat tanda-tanda seperti ini. Biasanya sampai pagi tiba isaknya masih terdengar satu-satu. Pula tangis seperti ini sudah menjadi tanda bagi tetangganya bahwa dia bakal terganggu tidurnya.
”Mbakyu!” kata tetangga yang merasa terganggu tidurnya sambil membentur-benturkan tangannya ke dinding. ”Mbok kalau nangis pelan-pelan saja, atau ditutupi bantal. Bukan apa-apa, tapi yang dengar ini. Masa orang tidur harus diganggu.”
“Apa urusannya? Toh kamu tidak tahu yang kutangiskan, yang kusedihkan,” katanya diselingi isak tangisnya.
”Habis Mbakyu sih. Setiap saya tanya kenapa, tak pernah Mbakyu mau memberitahukan. Kenapa sih?”
”Apa urusanmu? Masalahku ya masalahku, masalahmu urus sendiri olehmu. Yang nangis toh aku bukan kamu. Yang ngeluarkan airmata, yang sedih, yang….”
”Lho bukan begitu Mbakyu. Maksud saya kalau Mbakyu mau mengasih tahu….”
”Terus mau kamu gunakan untuk bahan mengolokku?”
”Bukan begitu Mbakyu. Barangkali saya bisa membantu memecahkan masalah Mbakyu.”
”Ini urusan pribadiku, orang lain tak boleh tahu. Kamu sok mau tahu saja!” suara tangisnya sama sekali sudah hilang. Isaknya pun sudah tidak kedengaran lagi.
”Lho, tapi dengan tangismu itu kan ngganggu tetangga. Ingat dong, tetangga punya kuping.”
”Itu salahmu sendiri, kenapa kaudengarkan suara orang menangis. Kenapa tak kaututupi saja kupingmu atau sekaligus kautulikan agar tak lagi mendengar tangisku.”
”Bangsat! Sudah disabar-sabarkan masih saja marah-marah. Dasar manusia tidak pancasilais, komunis kau ya?”
”Biadab! Dasar pelacur. Tidak dikasih tahu urusan orang lantas maki-maki.”
”Apa? Kaumaki aku pelacur? Ah, dasar pelacur sendiri memaki orang lain pelacur. Ah, dasar orang kejam kau itu,” tetangga itu mulai menangis. Dia pun ikut menangis mendengar makian tetangganya itu. ”Setan, anjing kurap kau. Bangsat! Bajingan!”
”Diaaaaam!” tiba-tiba dari dinding sebelah yang lain terdengar bentakan. Suara bentakan seorang lelaki bertampang seram, suara yang berat agak serak. Kedua tangis itu pun seketika saja terhenti. Tak ada suara, tak ada pertengkaran, tak ada tangis. Suasana jadi hening, sehening tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AcakSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...