Salah satu i’jaz Al-Qur’an ialah bahwa sistematikanya tidak dapat dirumuskan. Kita bisa misalnya, menyusun klasifikasi per-disiplin: ada ayat hukum, ayat ekonomi, ayat moralitas, ayat astronomi atau biologi. Ibarat samudra, kita ambil satu ember airnya untuk kita masukkan ke dalam tabung yang berbeda-beda sesuai dengan approach yang kita gunakan. Besok pagi kita akan menemukan suatu kenyataan bahwa pengisian tabung itu bisa kita tukar dan balik atau kita campurkan sekaligus.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah suatu dimensi petunjuk yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al-Qur’an itu tiada ‘jarak’nya dengan Allah: dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan Kabir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita ‘fahami’ dengan rasa-pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan, namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan. Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan ‘lenyap’ di satu level tertentu, sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena la roiba fihi (Al-Baqarah: 2) Al-Qur’an adalah wahyu Allah, kita tak perlu ‘heran’ apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang ahsani taqwim (At-Tien: 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat karena akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-Baqarah: 30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang keterbatasan kita. Jawab-Nya atas protes itu: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang engkau tidak ketahui” (Al-Baqarah: 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al-Qur’an: tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu’min: betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-ayat-Nya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, ternyata mengandung keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhirnya mengalami bahwa itulah satu-satunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang.
Lihat dan bacalah Al-Qur’an yang amat luar biasa itu, yang terbagi menjadi bagian-bagian, tetapi antara bagian-bagiannya itu saling merangkum, bagian yang satu merangkum bagian yang lain, bagian yang lain merangkum bagian yang satunya, bagian yang ini mengandung bagian yang itu, demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian yang tidak parsial, tidak sektoral. Bagiannya mengandung keseluruhannya, keseluruhannya mengandung bagian-bagiannya. Bagian-bagiannya adalah keseluruhannya, kemenyeluruhannya adalah bagian-bagiannya. Sungguh Allah tidak menggertak-sambal ketika ia menantang kaum Musyrikin, jika mereka ragu akan Al-Qur’an (juga mungkin menantang keraguan yang kita Kaum Muslimin alarm sendiri), untuk membuat satu ayat saja yang semisal Al-Qur’an.
Lihat dan bacalah Al-Qur’an yang tiada suatu gejala kehidupan dan gejala sejarah pun yang tidak disebutnya, diperingatinya, serta dituntutnya untuk selamat. Ia sedemikian menyeluruh. Jadi sesungguhnya apa yang saya tulis ini sekedar, dengan segala keterbatasan, semacam menjilat amat sedikit rasa asin dari samudera.
Surat Al-Baqarah biasa juga disebut sebagai Fusthathul-Qur’an, puncak Bacaan Agung, karena secara eksplisit pokok tuntutan syariat: yakni perintah-perintah yang menyangkut rukun Islam, Qishash, furqan yang memilahkan hal-hal yang halal dan haram, aturan-aturan tertentu dalam perhubungan ekonomi, perkawinan dan kekeluargaan, bahkan sampai soal anak yatim, perang dan sihir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
De TodoSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...