Bukankah klenik, hantu, budaya Royco, serta berbagai bentuk subjektivisme lain juga berlangsung di sekitar kita di sini? Bahkan oleh dan di dalam diri kita sendiri?
Kalau kita beli pakaian, kita pilih merek tertentu. Yang kita beli bukan objektivitas barangnya, melainkan mereknya. Itu, tentu saja, tidak objektif. Dengan kata lain: klenik.
Tentu saja merek juga terkadang menunjuk pada standar kualitas. Tapi sesudah merek itu marketable, kualitas boleh turun, karena yang kita pertahankan untuk kita miliki adalah labelnya.
Di dalam kesenian modern, ada yang disebut high art. Seni tinggi. Seni yang, katanya, tidak bisa dipahami atau diapresiasi oleh masyarakat umum. Pada banyak kasus, kehebatan karya seni tersebut tidak terletak pada karya itu sendiri, melainkan pada penilaian-penilaian yang diberikan oleh kritikus. Sebuah cuatan garis di kanvas bisa dianggap mengandung kualitas tinggi yang bukan main.
Penilaian itu merupakan faktor utama yang membikin karya itu laku. Jadi yang dijual sebenarnya anggapan. Orang-orang kaya yang menjadi kolektor seni rupa modern umpamanya, tak sedikit yang sebenarnya tak cukup mampu mengapreasi karya-karya yang dibelinya. Mereka membeli merek, label, atau mitos-mitos tentang karya itu.
Itu klenik namanya.
Juga kalau kita - di tengah pergaulan - terlalu cepat mrmberi vonis kepada seseorang. Sering kali itu subjektif, lebih berupa anggapan daripada penilaian objektif.
Juga kalau kita suka menuding orang lain: Kafir! A-pancasilais! Komunis! .... []
- Secangkir Kopi Jon Pakir -
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...