SEBUAH CERPEN
KARMAN amat sibuk di depan kaca. Setelah mandi begitu lama, bersiul-siul, memilih pakaian terbaik, membuka minyak wangi dan odorono dari bungkusnya, berdiri di depan kaca tersipu-sipu.
Ini sungguh menggelikan. Laki-laki macam aki ini bersolek? Meminyaki rambut, menyemir sepatu sampai amat mengilap, menguru bau ketiak? Pikirnya. Semalam ia meluangkan waktu khusus untuk membeli perlengkapan salon itu. Karman makin keras bersiul-siul untuk mengusir rasa geli dalam dirinya sendiri. Ini kencan istimewa. Di samping, apa salahnya aku menyenangkan orang lain dengan cara ini? Aku menjadi remaja kembali.
Karman, 41 tahun, guru Bahasa Indonesia SMA, telah selesai berhias, dan siap menemui yang tercinta Kadaryati, di depan THR pukul setengah delapan. Sekali ia membenahi rambutnya. Semestinya ia beli celana jins dulu dan kaos Guruh Gips serta sepatu tinggi. Tapi sudahlah. Karman yakin Kadaryati pasti menyukai kesederhanaan seperti dua belas tahun yang lalu.
Dulu zaman mereka berpacaran, Karman ingat betul, Kadar pernah marah karena ia memakai minyak rambut luber, membasah-kuyupi rambutnya hingga membanjir ke keningnya. Kadaryati menyukai hal-hal yang bersahaja, seperti perasaan dan jiwanya. Nanti kira-kira ia pakai apa? Kain batik Pekalongan kesukaannya, kebaya warna mentah dan rambut digelung sederhana? Tapi jelas mustahil ia pakai make up yang berlebihan.
Jam tujuh tiga puluh. Sekarang musti start. Karman menengok ke luar pintu. Dilihatnya semua kawannya sudah tak ada. Pasti sudah masuk kelas. Tegang di kursi. Menghadapi meja, map-map, mendengarkan dengan seksama cuapan-cuapan si juru tatar, kemudian setengah mati menyembunyikan rasa malas dan kantuk. Karman sengaja membolos hari ini. Untuk apa pula terlalu serius. Kalau yang ditatarkan sekedar itu-itu saja ia yakin sudah cukup pintar. Dan yang penting Karman tahu acara penataran ini hanya proyek uang hangus. Menghabiskan anggaran. Ini didukung oleh sistemnya yang tidak efektif dan kurang mendasarnya materi-materi yang digarap. Jadi jelas, Kadaryati lebih penting.
***
Karman mengunci pintu kamarnya dari dalam. Dibukanya jendela dan meloncat ke luar, kemudian menutupnya. Sungguh pintar perencana gedung ini dulu. Sebuah kompleks dengan unit-unit berhadap-hadapan. Di salah satu sisinya sawah lebar menghampar. Sehingga kalau mau keluar tanpa ketahuan penjaga, loncat saja dari jendela dan menyusur sawah. Pandai pula sekretariat penataran yang memilihkan Karman kamar yang pas di sisi sawah itu. Karman tinggal take off. Segalanya mendukung. Juga langit yang lapang dan cerah, burung-burung yang melintas, angin dan padi menghijau yang bersemi, seperti gelora hati Karman.
Hari tak banyak hujan pula. Tanah cukup kering. Sepatu Karman melintas di atas pematang tanpa khawatir akan kotor. Karman begitu bersemangat, gagah dan berdebar-debar. Beberapa menit kemudian ia sampai di jalan besar. Ia mencegat bemo. Nanti sampai di terminal. Kemudian ganti bemo lagi yang langsung ke THR. Ini bukan soal tak ada uang.
Naik becak akan terlalu lama. Kendaraan sendiri jelas tak ada, sebab ini di lain kota. Sewa taksi? Harus ke hotel besar. Pos-pos taksi juga jauh. Dan lagi ini bukan Jakarta di mana taksi-taksi berkeliaran di jalan-jalan mana pun.
Hampir sampai tempat yang dituju, Karman makin berdebar hatinya. Ia melongok-longok, mencari di mana gerangan bidadari itu. Bemo berhenti, dan itu dia! Karman turun dari bemo dengan sikap gugup. Hampir saja ia terjatuh karena terantuk kaki orang di sebelahnya. Karman berdiri minggir dan berhenti sejenak. Ia mengempaskan napas panjang sekali, tapi kemudian napasnya justru makin tersengal. Tersipu ia menyaksikan dirinya sendiri.
Sesaat ia tersadar akan petualangan kecil ini, teringat usianya, teringat istri dan empat anak-anaknya di rumah. Tapi segera diusirnya perasaan ini dan kakinya melangkah. Karman tak mau peduli dan segera mendapatkan yang dicarinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AcakSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...