Daerah Istimewa Surabaya

88 3 0
                                    

Sebagai penduduk Yogyakarta, saya sangat senang menyaksikan daerah istimewa ini sibuk menimbang-nimbang RUU Keistimewaan DI Yogyakarta. Fokus dari diskusi segala lapisan di Yogyakarta itu adalah bunyi rancangan pasal 17: Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman.

Jadi, seandainya pun umpamanya kelak Tuhan menakdirkan seluruh kerabat Keraton Yogya dan Pakualaman mengalami nasib seperti para priyagung kerajaan Islam di Pontianak yang musnah dibunuh oleh Jepang, naʻudzubillah min dzalik, dengan sebab yang mungkin berbeda: entah ada gempa bumi raksasa sehingga menelan keraton dan seluruh penghuninyam maka tetap Gubernur dan Wagub DIY harus adalah Sri Sultan dan Adipati Pakualaman.

Dua kali saya diundang mengikuti diskusi membahas RUU ini, dan pada kesempatan pertama saya nyatakan cinta saya kepada Sri Sultan dan Paduka Pakualam: Kenapa kita menghalangi karier Raha dan Adipati kita dengan mewajibkan beliau berdua menjadi Gubernur dan Wagub sepanjang hidup? Bagaimana kalau rakyat Indonesia meminta beliau berdua menjadi presiden dan wapres kita? Bahkan bagaimana kalau organisasi negara-negara seluruh dunia, kapan-kapan memohon beliau untuk menjadi Sekjen PBB?

Sesungguhnya perdebatan masalah Sultan otomatis gubernur dan Pakualam pasti wagub adalah kontroversi antara konsep kerajaan dan konsep negara. Kita bisa panjang lebar mencari buruknya kerajaan dan mendaftari baiknya negara, atau sebaliknya. Kita bisa seminggu penuh nglembur mencatati kacaunya feodalisme dan hebatnya demokrasi, atau sebaliknya.

Kalau negara, yang apalagi bernama Republik Demokrati, seperti Jerman Timur, atau semua negara-negara komunis di zaman kejayaan Uni Sovyet ya mending hidup liar di hutan belantara. Kalau kita menjadi warga negara pemuka demokrasi Amerika Serikat mungkin cukup enak, tapi kalau kita adalah penduduk negara-negara dunia ketiga yang samiʻna wa athoʻna kepada beliau, ya belum tentu enak. Yang mungkin agak lumayan adalah kalau Indonesia dijadikan salah satu negara bagian dari The United States,sebagai rakyat Amerika kita pasti mendapatkan keadilan dan kesejahteraan, beda dengan kalau Indonesia menjadi bonekanya Amerika Serikat.

Biar menjadi penduduk kerajaan tetapi kalau rajanya Baginda Sulaiman AS, atau sekurang-kurangnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Raden Patah atau Sultan Agung, tak apalah tidak usah kenal demokrasi. Wong Republik Indonesia sudah setengah abad lebih menerapkan dirinya sebagai negara demokrasi, hasilnya ya mbembet dan makin mbembet gini kok. Katanya ada reformasi ternyata gathel: mudah-mudahan siapa saja yang mengkhianati hati rakyat kecil dianugerahi Allah sakit gundhalen.

Kalau kita kembalikan kepada Sri Sultan wajib menjadi gubernur DIY, di kesempatan forum lain sempat saya berpikir: Kalau saya jadi Sultan, saya tidak akan mau diundang-undangkan untuk permanen menjadi gubernur. Rasanya tidak jantan. Saya kan Sultan, pengayom rakyat, pemimpin sejati, takhtaku untuk rakyat, aku selalu becermin di kalbu rakyat, sayyidin panotogomo… jadi meskipun setiap lima tahun sekali aku harus bertanding bersaing menjadi gubernur, insya Allah aku akan selalu menang karena rakyat Yogyakarta tidak punya pemimpin sejati yang lain.

Salah satu keistimewaan Yogyakarta adalah meskipun keraton memiliki peran dan hak sejarah yang sangat kongkret sejak dahulu kala, tetapi tidak akan takut memasuki alam demokratisasi, berkompetisi secara fair. Justru kalau Sultan dan Pakualam tidak dipastikan menjadi gubernur dan wagub, maka beliau berdua akan secara dinamis membuktikan kemampuan kepemimpinannya kepada seluruh rakyat Yogyakarta. Kalau “ditakdirkan” pasti jadi gubernur dan wagub, malah bisa terlena dan tertidur, kehilangan obyektivitas, gampang terjebak dalam situasi tend ti be corrupt, meskipun tidak dalam arti uang dan harta.

Kalau keraton dilegalisasikan sebagai otomatis memiliki otoritas birokrasi, maka wajah Sultan dan Pakualam bukan wajah kewibawaan, melainkan wajah kekuasaan dan kecurangan. Tetapi, ya silakan kalau memang mau permanen jadi gubernur dan wagub, sepanjang beliau berdua melihat bahwa kelak akan bisa mengubah kembali wajah kekuasaan menjadi wajah kewibawaan.

Para penyusun draft akademik RUU in bisa menggunakan jargon Sri Sultan yang (maaf, beberapa tahun yang lalu saya bikinkan) berbunyi “Becermin di Kalbu Rakyat”. Artinya Pak Affan Gaffar bisa bertanya kepada dirinya sendiri apakah perannya dalam proses penyusunan RUU Keistimewaan DIY ini adalah peran intelektual, ataukah peran politisi, ataukah peran pedagang, atau mungkin peran abdi dalem. Hanya Pak Affan dan beliau-beliau yang bisa menjawab.

Soal keistimewaan DIY, di forum itu saya menganjurkan agar tak usah mencari-cari dan mengurai-uraikan apa keistimewaan DIY, sebab RUU ini bukan sedang memperjuangkan status DIY untuk dijadikan daerah istimewa. Yogyakarta sudah istimewa, pegang saja itu tanpa banyak alasan. Kalau dicaricari alasan dari masa silam seperti beberapa diuraikan dalam RUU, nanti Surabaya juga punya alasan menjadi Daerah Istimewa Surabaya. Alasannya, nasionalisme Indonesia kan lahir dari Sumpah Palapa Gajah Mada Majapahit. Belum lagi kedahsyatan perang arek-arek Suroboyo melawan sekutu yang membuat hari itu dijadikan Hari Pahlawan.

Bahkan nantu Cirebon, Ternate, Mandar (mantan Mara’dia Kerajaan Mandar adalah teman karib HB IX yang sama-sama berjuang di zaman pergerakan menuju kemerdekaan RI), juga daerah-daerah lain di Indonesia. Semua memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri.

Kistimewaan Yogyakarta harus merupakan kata kerja, bukan kata benda dari masa silam. Bahwa Yogyakarta adalah Ibu Kota Kebudayaan Indonesia yang memiliki dimensi-dimensi khas yang tak dimiliki daerah lain. bahwa Yogyakarta adalah perintis laboratorium pluralisme keindonesiaan sebelum daerah-daerah lain mengekornya. Bahwa Yogyakarta adalah kawah candradimuka bagi para kreator kebudayaan dan sudah terbukti dinamika kebudayaan modern Indonesia sangat banyak dipengaruhi oleh dinamika kreativitas di Yogyakarta.

Kalau Surabaya jadi DIS, mungkin rajanya Ngarsodalem Imam Utomo, Ngarsodalem Farid, Ngarsodalem Saipul, atau Ngarsodalem Lonthong… 

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang