Jangankan menjadi nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar tulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata ulama, kiai, ustadz, syekh, maulana di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai serban di kepalanya, mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri.
Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, begawan, undagi, ulil abshar, ulil albab, ulin nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti profesor, doktor, profesional, pejabat, presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah mataʻul ghurur, perhiasan dunia, serta laʻibun wa lahwun, permainan dan senda gurau.
Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Penciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi dan misi pihak yang merancangnya.
Kata Islam, seseorang adalah nabi karena nubuwwah. Adalah rasul karena risalah. Adalah wali karena walayah. Dan adalah manusia kaerna khilafah. Keempat “ah” itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat human and social penetration yang juga bertingkat-tingkat.
Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional, tidak realistis, dan ahistoris untuk diambil sebagai ikon suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai malaikat, iblis, jin, hewan, atau alam, maka engkaulah khalifah yang menyandang khilafah.
Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah “memperistri” makhluk-makhluk-Nya, lelaki “memperistri” perempuan, dan pemerintah “dipersuamikan” rakyat—maka umat manusia dinobatkan menjadi “suami” bagi alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun desain dan metodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan manajemen untuk memproduksi “rahmatan lil ʻalamin”.
Sejarah umat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang berteletele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombongan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan.
Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang “terlibat” dalam hal ini: “Inna khalaqnal insana fil ʻajal”: sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa.
Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakurdan ijtihad umat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zig-zag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri mahasiswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di “koma” begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.
Di manakah pintu ilmu, babul ʻilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul ʻilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki “maha”-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album “religi”, majelis ulama, clean goverment, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat saraf otak manusianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...