Pesta

74 1 0
                                    

APA kubilang. Mana bisa kita masuk ke dalam situasi kayak gini. Kita pasti bengong. Berapa kali sudah kutekankan: kirim kado saja! kirim kado saja! Tak usah datang. Untuk apa. Aku muak pada alasan-alasan etis macam itu dan kauingatkan pula aku pada kejadian-kejadian masa lalu yang membuatku sok cengeng meng hargai nostalgia. Basa-basi cinta, kemegahan, kisah pria dan wanita, akhir hubungan yang dewasa. Taiklah. Kirim kado saja apa tak cukup sopan. Aku toh diam-diam bisa berupacara menghormatinya, berdoa untuk hari bahagianya. Kenapa harus datang ke pestanya. Kenapa wajib. Etika pergaulan? Atau kotak kaku dari suatu nilai? Pergeseran dari esensi ke bentuk? Apakah penghormatanku atas upacaranya cuma bisa diungkapkan lewat kehadiranku pada pestanya. Kenapa orang tidak merdeka memilih bentuk dari kegairahannya atas sesuatu yang justru lebih intens dan lebih berarti bagi hatinya? Dan, kaupula merunduk-runduk di bawah bingkai kebudayaan macam itu. Bingkai yang kalau kauterlalu baik hati padanya, kelak akan mencekik lehermu. Sekarang apa katamu. Kita sudah telanjur berangkat, dan sampai di sini.

”Apa katamu!”
Jangan tunduk! Jawab dengan jantan.
”Ya”
”Ya, apa?”
“Borjuis mereka.”
”Sok Barat.”
”Ya”

Aku sudah bilang .itu sama kaukan? Nah, lihat itu si Venny datang. Senyum lebar dan menyambut kita.

”Ayo, ayo, silakan masuk!”
Jangan bengong. Ayo masuk. Sudah telanjur.
”Mana partner-nya? Mana ini pacarnya?”

Aku melengos. Tentu, tentu saja aku melengos. Ini gara-gara polah kau. Kalau kautidak paksa-paksa aku untuk hadir dalam acara ini aku tak akan melengos malam ini. Dan, melengos itu kekalahan besar, kan. Apalagi untuk laki-laki jantan macam kita.

”Duduklah!” “Ya, ya, ya, ya…”

Kenapa kauikut gagap? Aku sajalah yang gagap malam ini. Itu hakku. Di depan senyum cerah Venny dan gaun putih bahagianya. Biarlah aku ditampar-tampar masa silamku. Biarlah anak itu pakai cat-cat di mukanya, pakai eye shadow, sanggul, gaun panjang yang menyapu lantai. Aku tak setuju dengan cat-cat di pipi dan di bibir. Hanya pintu dan kanvas yang patut dicat. Tapi biar. Ayo oleskan cat-cat setebal satu sentimeter.

”Kok kaku sekali?”
“O… aku memang sopan kan?”

Nah, lihat aku mulai berhasil senyum agak jernih dan nyerocos lancar. Lihat si masa laluku itu terpingkal-pingkal. Bukankah sikap-sikap semacam ini yang dulu membuatnya terserap olehku dan tertidur di pangkuanku pada suatu sore ketika ia belajar di bilikku!

Musik sudah terdengar. Kautahu? Itu sudah sejak tadi. Sejak kita berada di depan rumah tetangga sebelah. Rock! Bising! Menghantam-hantam telinga! Mengobrak-abrik kesunyian perasaanku! O, Venny, Venny. Kenapa hari keramatmu ini kauisi dengan kebisingan-kebisingan. Apa telingamu akhir-akhir ini menjadi pekak. Kenapa kautak duduk bersila saja semalam suntuk, khusus untuk menelusuri dan omong-omong dengan sejarah pribadimu. Kenapa tidak bangun saja sebelum subuh, lantas sembahyang, lantas berdoa, lantas mengaji, lantas jalan-jalan suntuk keliling Yogya. Kenapa tak kaurayakan ulang tahunmu ini dengan berdekapan erat-erat dengan kesunyian jiwamu yang paling dalam.

”Mana kawan-kawan lain?”

Kau lihat Venny nyelonong dan duduk di sisiku. Kaubau juga parfumnya? Huh. Sejak kapan kaudiangkat jadi boneka penghuni etalase toko Venny?

”Ada acara semua, Ven.”
”Budi kok nggak seperti biasanya? Kok sekarang diam saja? Kan kauini tukang mendongeng kalau kumpul-kumpul.”

Nah. Jawablah.

”Masak udah gede-gede didongengin!”

Ha, begitu. Tetapi, sebenarnya kaumembeku juga seperti aku kan? Nanti sepulangnya dari tempat laknat ini segeralah menunduk-nunduk dan memohon maaf kepadaku.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang