Bulan Mei ini sangat penting dan sedikit wingit. Bukan karena kita barusan kehilangan Ibu Negara sehingga di sana-sini muncul rekalkulasi parsial maupun komprehensif yang menyangkut segala bidang kehidupan. Bukan karena gelombang uang berkecipak dan berbagai kelompok memasuki suasana siaga tingkat satu. Juga bukan karena Pak Harto sendiri sedang sangat mendalam melakukan refleksi-refleksi, agar perubahan-perubahan sejarah negeri ini yang akan berlangsung akan tetap menjamin ‘ketenteraman relatif’ bagi bangsa Indonesia. Bukan. Bukan karena itu semua.
Saya terlalu kecil untuk menyangkutkan masalah Indonesia di pundak saya.
Jadi, setiap momentum saya lewati berdasarkan kapasitas kekecilan saya belaka. Maka pentingnya bulan Mei yang saya maksudkan adalah—pertama—karena inilah bulan kelahiran saya. Dan kedua, di bulan ini pula berganti tahun hijriyah. Saya ‘kan suka ngimpiin ada yang kelak bernama peradaban hijry, sementara yang sekarang berlangsung dan kita kenyam bersama-sama—ya kebudayaannya, ya politiknya, ya industrinya, ya matematikanya, ya fisika dan teologinya, ya selera estetiknya, ya supermarketnya dll—adalah peradaban masihy.
***
Untuk itu pada bulan Mei dan mungkin sesudahnya, saya ingin menyelenggarakan upacara-upacara kecil-kecilan. Dan karena ini urusan pribadi, maka sengaja saya seram-seramkan sendiri, saya mesra-mesrai dan saya sentimentili sendiri.Misalnya saya kirim jawaban surat kepada sekitar 60 panitia dari berbagai daerah, terutama kampus-kampus, di mana saya tidak bisa memenuhi undangan mereka dengan alasan “saya masih belum tahu apa yang wajib saya lakukan, kayaknya saya masih harus menunggu usainya suasana bulan haji akbar, untuk mendapatkan pengetahuan tertentu sebagai dasar dari keputusan langkah-langkah saya berikutnya”.
Tentu saja teman-teman pada nyindir, “Alaaa, gayanya kayak paranormal nunggu wangsit!”. Tapi ini masih lumayan. Ada yang nyemprot, “Emangnya Ente Nabi, lagaknya kok nunggu waktu..!” Padahal soalnya bersahaja belaka. “Anta la ta’lam, wa Ana a’lam”, kata Allah. Ente kagak tahu, Ane yang pasti tahu. Segala yang saya dan kita semua ketahui dan bisa, ini dulu asal usulnya juga dari Dia. Saya tahu atau mengakui ada yang namanya setan, iblis, neraka, sorga, akhirat, malaikat, Allah, hukum ‘karma’ ala Islam (wa man ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron yaroh… wa sarron yaroh..) dlsb. itu semua juga tidak dari buku-buku para profesor atau segala jenis cendekiawan lainnya, melainkan dari Allah saja. Jadi kalau hati bengong, pikiran tak merasa tahu pasti, satu-satunya jalan adalah memohon kepada Allah dan menunggu perkenan-Nya.
Jadi, sekalian untuk pemberitahuan agar teman-teman tidak kecele, bulan Mei ini saya melakukan beberapa hal berangsur-angsur. Pertama, saya akan tak beralamat pasti. Kompleks bangunan di Yogya selatan, unit 8 kelas sekolah, aula, beberapa rumah, yang selama ini dianggap rumah saya, akan tidak lagi menjadi milik saya lagi, melainkan menjadi milik Yayasan Alhamdulillah dan Pesantren Anak Yatim ‘Zaituna’. Yang di Jombang, baru dalam proses saya bangun, jadi belum bisa dikasihkan.
Hanya ada dua acara dengan masyarakat yang saya jalani bulan ini, di Jakarta dan Yogya. Puluhan undangan lainnya, saya jawab dengan ‘bengong’ karena ketidaktahuan tadi itu. Selebihnya, pengajian Padang Bulan setiap pertengahan bulan hijriyah, yang sampai saat ini masih harus berlangsung dan belum memperoleh kejelasan kapan harus bubar dan musnah.
Tapi kalau usai ‘getaran haji akbar’ nanti ada suatu kejelasan yang tak saya duga-duga, tidak tertutup kemungkinan saya akan bekerja lagi di sana-sini 20 jam sehari seperti biasanya. Bidangnya apa, bukan kehendak saya, melainkan tergantung ‘dorongan internal’ yang mudah-mudahan datangnya murni dari Allah saja. Bisa saja nanti saya hidup di Rungkut dan tiap hari nongol di Juanda bersama para makelar, atau di terminal Bungurasih dengan ‘kaum pinggiran’ di sana.
***
Satu pekerjaan lagi yang melalui bulan Mei ini tetap wajib saya kerjakan, ialah menemani proses kreatif suatu kelompok kesenian ndeso asuhan Pak Novi Budianto yang oleh beliau sendiri disebut grup Orkes Gambus ‘Al-Ikhtiar’ di Yogyakarta.Ini suatu komunitas kesenian mustadl’afin. Yang dari sisi pencapaian estetik belum punya tingkat kredibilitas mutu yang membuatnya berhak dilirik oleh dunia kesenian yang canggih. Pak Novi sendiri memang menyebut apa yang dilakukannya dengan teman-temannya itu sekadar ikhtiar hidup, sebagaimana tukang ojek atau pemulung.
Saya diwajibkan menemani mereka karena tiga sebab. Pertama, karena mereka difitnah. Salah satu jenis alat musik ciptaan Pak Novi yang mereka gunakan diklaim oleh pihak lain di mana Pak Novi disebut ‘mencuri’. Materi alat musik itu bisa dibikin atau dibeli siapa saja, tapi konsep terjadinya jenis alat itu Pak Novi yang menciptakan. Dan terhadap fitnah itu Pak Novi bersedia melakukan dialog untuk melacak segala kebenaran dan kesalahan yang berkaitan dengan masalah itu; atau kalau perlu dibawa ke pengadilan, untuk membuktikan siapa yang benar. Tapi dialog ditolak, dan yang terjadi hanyalah intrik, rerasanan, pengkarikaturan di sana-sini. Tak hanya menyangkut hak cipta alat musik tsb, tapi rerasanan itu juga melebar ke soal-soal yang irrasional, pribadi dan subyektif.
Inilah yang melahirkan alasan kedua yang menjadi syarat bahwa saya mau menemani mereka. Yakni, saya mau menemani mereka, asalkan di kelompok ini tidak ada tradisi rerasanan, intrik, mengkarikaturkan pihak lain, menikmati aib orang lain, ‘memakan daging saudara sendiri’. Kalau pembicaraan di antara mereka bersifat analitis dan orientasinya mendiskusikan masalah menuju pencarian kebenaran, silahkan. Dan alhamdulillah, syarat ini terpenuhi. Yang ada pada mereka adalah menjaga mulut, saling berdialektika dalam proses kreatif, saling menghormati dalam kemesraan pergaulan.
Adapun syarat yang ketiga yang saya ajukan adalah: hati pergaulannya bersifat paguyuban, kemanusiaan dan kabudayan. Tapi format kerjanya berparameter profesional. Artinya, tidak saling mengikat. Seorang pemain musik berhak bergabung dengan kelompok manapun. Kalau pada suatu pementasan seseorang tidak bisa ikut karena ikut grup lain, semua yang lain harus mendukung, tidak sakit hati, bahkan mensyukuri. Seseorang yang pentas dengan grup lain itu harus diberi ketenteraman dan kemerdekaan agar supaya kreativitasnya di grup lain itu maksimal.
***
Alhamdulillah pergaulan komunitas ini bersih, sementara etos profesionalitasnya juga demokratis. Orkes ‘Al-Ikhtiar’ ini sudah bisa pentas di tingkat kecamatan, mudah-mudahan kelak meningkat ke level kabupaten. Syukur ada sesekali dilirik juga oleh para dewa kesenian. Tapi yang terakhir ini saya pesimis, karena dunia kesenian adalah dunia yang sangat canggih, sedang kelompok ini yaaah.. orkes kampung belaka.Untunglah mereka memang tidak gemedhe dan tidak merasa seniman. “Kami sekadar berikhtiar”, kata Pak Novi, yang memang sekadar seorang guru SMP.
Mereka bercita-cita punya mobil bak belakang, semacam truk mini, untuk angkut-angkut alat musik—bagian belakangnya digambari dan dikasih tulisan—misalnya, “Dunia tak Sedaun Kelor”.
Ini semua saya tuliskan, pertama karena wong cilik itu lebih penting dan lebih awet dalam sejarah dibanding orang besar. Kedua, karena pada level masyarakat bawah pun terjadi keruwetan konstelasi semacam itu—tak hanya di kalangan elite kekuasaan terutama pada saat menjelang Pemilu, di mana Tuhan dan agama sedang dijadikan pisau. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
DiversosSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...