I
Hukum selalu disebut “tidak pandang bulu”. Tidak pilih kasih, tidak pandang bertingkat-tingkat, tidak ngerti warna kulit. Intinya, selalu disebut: “di mata hukum, semua sama”.
Orang mencuri karena anaknya mau mati kelaparan atau orang korupsi karena rakus, hukum tak bisa membedakan. Hukum tidak mengerti kebudayaan, karena hukum hanya bagian kecil dari kebudayaan. Hukum tidak mengerti agama, karena hukum hanya satu sisi belaka dari kosmos agama.
Dengan hukum yang sebenarnya “hanya bagian kecil dari kehidupan”, hukum yang hanya “sisi tidak tinggi dari agama”, yang “buta warna”: itu saja kita tidak maksimal sanggup menegakkannya. Jangankan lagi dimensi-dimensi lain yang lebih tinggi dan lebih luas dari kehidupan.
Belum lagi dalam tulisan sebelum ini kita ketahui bahwa hukum tidak mengerti kecuali dirinya sendiri. Ia tidak mengakui segala sesuatu yang di luar dirinya. Bahkan suatu formula sistem hukum tidak akan membuka pintu bagi makhluk lain yang sebenarnya juga bernama hukum. Lihatlah bagaimana silang sengkarutnya perhubungan dan konstelasi, misalnya antara hukum negara dan aturan pemerintah, hukum negara dan hukum adat, hukum negara dan hukum negara.
Begitu banyak dimensi-dimensi illogical, tak masuk akal, dalam praktik bernegara dan bermasyarakat kita yang potensial untuk kita urai satu per satu, pelan-pelan.
Apalagi di frame otak kita sangat tidak ada kejelasan mana hukum mana moral dan etika. Mana negara mana pemerintah. Mana fiqh mana ushulul fiqh, maka fikih, mana akhlak, mana adat. Hukum itu punya perangkat dan pandai berbuat sesuatu kepada orang yang bersalah, tetapi tidak berbuat apa-apa kepada orang yang tidak berbuat kesalahan. Hukum sangat “Tuhan” memelototi orang yang melakukan kesalahan, tapi hukum matanya buta kepada orang yang menegakkan kebenaran: tak pernah ia melakukan apa pun kepada penegak kebenaran.
Ketika hukum negara memberi legitimasi dan keabsahan atas pernikahan seorang pemuda dengan pemudi, ia tidak mau tahu bahwa itu bukan legitimasi dan bukan keabsahan apa-apa atas makhluk yang namanya pernikahan. Nikah itu idiomatik ciptaan Tuhan, melalui institusi agama (yang juga ciptaan Tuhan), sehingga tidak ada pernikahan apa pun yang lain di luar itu. Negara berhak melalui Catatan Sipil mengakui penyatuan perkawinan antara lelaki dan perempuan, tetapi itu bukan pernikahan.
Saya sendiri andai tak ada Tuhan juga tak akan nikah. Kalau negara mengatur hubungan saya dengan perempuan, saya patuhi sebagai norma kenegaraan, tetapi tetap tidak saya akui sebagai pernikahan. Sebab yang punya otoritas untuk hal-hal yang menyangkut pernikahan saya hanya Tuhan.
Saya punya teman yang tiap hari kerjanya mengejek Islam kalau ketemu saya. Saya sangat sabar dan tidak pernah sakit hati oleh kata-katanya, sampai pada suatu hari saya kecapekan dan terpaksa saya jawab:
“Kamu itu untuk apa nikah dengan istrimu? Nikah itu kan kaitannya dengan Tuhan. Bagi kamu Tuhan kan tidak primer-primer amat dalam hidupmu, untuk apa kamu patuhi Tuhan?”
“Untuk apa kamu nikah dengan istrimu? Kenapa tidak kamu kawini saja, dan tiduri perempuan mana saja semaumu, dan biarkan lelaki-lelaki lain meniduri istrimu, toh tak ada Tuhan. Untuk apa kamu taat kepada sesama manusia? Apa hebatnya manusia sehingga kamu taati dia?”
“Saya ini malaikat dan nabi saja pun tidak mau taat karena mereka tidak punya hak untuk itu karena bukan asal-usul dari kehidupan saya. Kalau saya melakukan hal-hal yang malaikat suka dan Rasulullah SAW mengajarkan, itu yang saya patuhi adalah Allah. Rasul hanya dititipi, dan saya menghormati pengorbanan beliau yang berjuang mati-matian menyampaikan titipan Allah itu.”
“Jadi kamu jangan menghina Islam lagi, melainkan mulai belajar berterima kasih kepada Allah dan Rasulullah. Sebab kalau tak ada Allah dan Rasulullah, istrimu sudah saya datangi, saya rayu dan saya tarik habis ke dalam pelukan saya, sebab pelukanku sebagai lelaki lebih hangat dan tangguh dibanding pelukanmu. Kelak kamu tidak terima atas kata-kata saya ini, ketahuilah bahwa sudah ratusan kalimatmu yang saya juga tidak terima, tetapi saya bersabar karena ada Allah dan Rasulullah dalam hidupku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...