Sepi Juakah Engkau, Ya Allah?

118 2 0
                                    

Di Yogya, baru jam dua menjelang dini saya peroleh kepastian bahwa saya bisa berangkat ke Surabaya. Acara pengajian akbar itu dimulai jam 09.00 pagi.

Saya naik burung Merpati Nusantara Airlines (Eco, rasane numpak montor muluk!) di pagi setengah buta. Kemudian bergurau di hadapan empat ribuan jamaah di masjid, sungguh sepi rasanya. Yang menjadi fokus adalah soal-soal sosial-politik yang besar-besar: maka siapa peduli kalau - misalnya - saya sakit mag?

Tengah hari, usai tertawa dan bertepuk, lantas berdzuhur jamaah dan take a lunch. Kemudian giliran saya "dimakan" oleh Majelis Seniman Budayawan Muslim Surabaya sampai jam empat sore. Langsung diotong-otong ke pantai utara Gresik, mbacot lagi di depan adik-adik Tsanawiyah dan Aliyah sampai jam sebelas malam. Langsung ke terminal Joyoboyo. Sampai di Yogya hampir siang. Sorenya ke Jakarta, siang besoknya ke Medan ngurus "Kemiskinan Struktural", "Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan", "Teater Indonesia Hari ini", dan "Teater yang Kita Butuhkan Sekarang"; dan men-Jakarta lagi. Beberapa jam kemudian ke Lampung, ganti kendaraan lima kali, beberapa jam di sana men-Jakarta lagi, akhirnya tancap dengan Kereta Senja ke Yogya.

Alangkah sepi!

Bersibuk di hadapan begitu banyak orang berganti-ganti! Begitu banyak orang yang haus dan bermaksud minum dari air ludah saya. Begitu banyak orang yang menyangka berhadapan dengan Emha padahal yang mereka undang adalah "patung bayangan" yang mereka namakan Emha.

Alangkah sepi!

Di kendaraan, bis demi bis, kereta demi kereta, bajaj demi bajaj, becak demi becak, berpuluh-puluh jam, terus-menerus. Seharusnya saya punya kesaktian seperti yang dimiliki oleh para Sunan. Sudah beberapa bulan saya menyaring perjalanan-perjalanan sepi semacam ini (yang mana yang musti ditolak: yang lokal? yang regional? yang nasional? yang internasional?) (yang politik? yang sosial? yang agama? yang seni? yang seminar masturbasi?); tetapi bulan ini seperti tiba-tiba saja kepungan itu tiba kembali. Maret-April ini menyongsong saya dengan lajur-lajur skedul yang begitu menakutkan kelelahan tenaga fisik saya, pikiran saya, mental saya ....

Ya Allah, apakah itu salah satu wajah dari cahaya-Mu? Pernahkah Engkau rasakan kesepian semacam itu, ya Allah? Perkenankan aku tidur sepenuh-penuhnya tidur satu-dua jam saja. Tidur yang tanpa politik, tanpa perjuangan, tanpa kegelisahan, tanpa pertarungan, tanpa lapar dan kenyang. Satu-dua jam saja. []

- Secangkir Kopi Jon Pakir -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang