Politik Cakruk Episode III

33 1 0
                                    

Sudah lama, dunia teater tidak kita perhatikan kemungkinannya untuk menjadi wacana zaman. Menjadi sumber acuan untuk memahami kenyataan hidup.

Menjadi reflektor, bahkan mungkin semacam term of reference dari suatu lingkar ruang dan waktu sebuah realitas.

Kangen rasanya.

Di Yogya, gabungan teaterawan cukup lengkap dari hampir semua wilayah perteateran Yogya, kini sedang sibuk berlatih menyiapkan sebuah pementasan yang berlangsung awal Desember 1996, berjudul “Duta Dari Masa Depan”.

Tokoh-tokoh masa depan, terjerat di satu panggung dengan tokoh-tokoh dari masa silam—dari Sunan Ampel, tokoh Pemuda 28 dan 45, hingga Petruk, Wisanggeni, Bismo, Sunan Kalijogo dan lain-lain.

Salah satu bagian dari drama ini, menjelang ending, merupakan monolog seorang tokoh masa kini. Itu terjadi di dalam bilik pribadinya. Saya kutipkan di sini sebagian teks verbalnya, namun sesungguhnya ia akan lebih utuh jika dipahami melalui visualisasi akting dan setting panggung yang menolong mengejawantahkan nuansanya.

Semoga ia masuk ke panggung estetika dan gagasan di dalam diri Anda, kemudian Anda tonton sendiri dan Anda interpretasikan sendiri. Ini drama tidak terutama bernilai historis-formal, tapi setidaknya sosiologis historis:

“Semua orang tidak memahamiku.

Semua orang tidak bisa memahamiku.

Semua orang tidak mau memahamiku.

Setiap orang hanya memegang pengertian terhadap pemahamannya sendiri atasku, tanpa sedikit pun menyisakan ruang untuk menerimaku sebagaimana aku apa adanya.

Setiap orang bersikap otoriter kepadaku.

Setiap orang adalah diktator, fasis, jumawan, atas nasibku.

Aku tercampak, ke jagat kegelapan mata mereka.

Aku terlempar memasuki kosmos yang sunyi senyap…’”
***
“Mereka pikir aku bangga dan merasa nikmat dengan tongkat sejarah di genggamanku ini. Tongkat yang bisa meruntuhkan bukit-bukit dan menghirup seluruh udara sehingga alam menjadi hampa.

Padahal aku hanyalah seorang Bapak yang lemah, yang tidak mampu menggelengkan kepala di depan wanita sisihanku, yang romantik terhadap nasib anak-anakku, yang karena itu maka selalu kubela mereka sebagaimana setiap Bapak di muka bumi ini juga selalu membela anaknya.

Mereka sangka aku ini kuat, gagah perkasa, liat, prigel, dahsyat, ngedap-edapi dan nguthowatiri… Mereka sangka kenyataannya adalah bahwa aku sangat kuat, sangat tidak terlawan oleh gabungan seluruh pasukan dalam sejarah.

Padahal sama sekali tidak. Kenyataannya adalah bahwa mereka semua lemah dan tolol! Mereka pikir aku merasa enak dengan semua ini, sehingga segala cara akan kutempuh demi supaya aku tetap bisa ngangkang di sini! Mereka pikir aku sedang menjaring masa silam dan masa depan dengan tali temali maha sakit yang kuikatkan di jari-jari telunjukku! Mereka pikir pilihanku adalah tetap bertahan di sini, tetap berdiri di podium kekuasaan ini, tetap mbegugug dengan segala pemilikan sejarah yang seolah-olah kumiliki! Padahal aku hanyalah orang yang tak bisa kembali.

Aku hanyalah pengembara yang tersesat dalam sepi.

Aku hanyalah pengendali zaman yang dungu, yang akhirnya oleh kendali itu sendiri aku ditangkap, diperangkap, disandera dan diikat dengan tali mati.”
***
“Istriku, istriku, kenapa di tengah gua sunyi yang buntu ini engkau tinggalkan aku? Kenapa engkau tiba-tiba pergi dari suamimu yang kemudian menjadi pemurung yang tolol.

Buuu, mana kopiku malam ini?

Mana piyama tidurku?

Besok pagi apa kata pertama yang musti kuucapkan?

Kalau aku berjalan, kaki yang mana yang harus kudahulukan?

Sebaiknya yang kiri ataukah yang kanan?

Istriku. Istriku.

Darah dalam dagingku.

Sekarang nyawaku tinggal separo…” []

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang