Cintaku Kepada Aa

587 10 0
                                    

KALAU Pesantren Al-Zaytun yang masyhur dan tokoh LSM macam Adi Sasono kabarnya amat mengaguminya, saya tidak tahu apa-apa, belum pernah datang ke sana dan hanya mendengar berita slentang-slenting. Tokoh utamanya yang besar tinggi gagah—A.S. Panji Gumilang—mungkin di awal 1960-an sering saya lihat di daerah Madiun Selatan. A.S. tentu bukan Amerika Serikat, melainkan—katanya—Abdul Salam.

Hanya itu pengetahuan saya. Selebihnya, saya kagum pada kemegahan fisik pesantrennya. Takjub pada strategi lembunya, taktik kolam ikannya, juga masjidnya yang nanti termewah se-Asia Tenggara. Apakah Al-Zaytun itu display dari satu di antara jenis kebangkitan Islam, atau ikon dari jawaban peradaban Islam terhadap klaim ketertinggalan Islam, atau apa, saya belum tahu. Sebagaimana ada tiga titik Islam—Patani, Wonosobo, dan Mindanao—yang merupakan Islamic strategic defence atas desain internasional pemusnahan nilai-nilai Islam dari muka bumi. Semua itu di otak saya masih wallahua’lam.

Yang saya agak tahu adalah peradaban sandal-sandal di Pesantren Darut Tauhid-nya Aa Gym alias KH Abdullah Gymnastiar. Kebesaran kaum santri di Gegerkalong Hilir, Bandung, Jawa Barat, itu dimulai dari disiplin menata sandal di depan masjid, atau ketika memasuki majlis apa pun di pesantren itu. Kebangkitan Islam dimulai dari istikamah kebersihan fisik. Sebab, kalau masjid dimitoskan sebagai tempat sandal hilang dan pencuri sandal dipukuli ramai-ramai, lupakanlah Islamic revivalism.

Membersihkan diri dan lingkungan sendiri dulu, baru pantas ikut berpikir membersihkan lingkungan. Seluruh perikehidupan Aa sendiri adalah potret total dari an-nazhofatu minal iman: kebersihan itu sebagian dari iman. Penampilannya klimis—di ruangan tertentu ada foto-foto beliau di masa silam nongkrong gagah di atas motor berat dengan jaket koboinya—wajahnya cakep dan mulus, giginya manis, vokalnya lembut diselingi notasi-notasi nashit: anak-anak muda Bandung terpesona, kaum remaja kota penuh paradigma budaya itu terkesima oleh estetika dakwah Aa.

Kiai muda ganteng harapan umat dan bangsa. Sesudah umat Islam dan bangsa Indonesia dikecewakan bertubi-tubi oleh pemimpin-pemimpinnya, maka Aa adalah semburat matahari di cakrawala timur, di ujung kegelapan malam yang berkepanjangan.

Ia membangun apa saja yang dibutuhkan oleh pembangunan kembali kepercayaan diri kaum muslimin, dengan izin Allah. Pesantren yang indah dan cerdas. Koperasi dan workshop manajemen qalbu. Radionya menyiarkan semangat hidup, kegembiraan dan kedamaian. Bahkan, pasukan Aa menelusuri jalanan kota Bandung sebagai “Pasukan Kuning”. Tempat-tempat perjudian dan bandar-bandarnya diserbu dengan sikap hikmah, dan komunikasi yang demokratis (bil-hikmah wal mau’izhatil hasanah).

Saudara saya 15 orang, dan usia Aa kira-kira sepantaran dengan adik kelima saya, namun prestasi keduniaannya cemerlang dan investasi keakhiratannya nyata di depan mata siapa pun. Betapa tidak sebanding dengan ketidakmenentuan hidup saya sendiri: di dunia dikepung hardikan dan kecurigaan, sementara celengan akhirat saya juga tidak begitu jelas. Pernah, dua-tiga kali saya diminta berceramah di depan santri-santri Aa, namun itu hanya menunjukkan bahwa tidak ada pada saya sesuatu yang pantas untuk saya sumbangkan, sehingga kemudian saya mengerti bahwa sayalah yang butuh belajar. Maka, kali berikutnya, saya datang dengan teman-teman dari Yogya dan Jakarta, untuk sekilas-sekilas belajar di Darut Tauhid.

Aa dan para santrinya mampu melakukan banyak kebaikan yang saya tidak sanggup melakukannya. Sementara saya masih begitu banyak melakukan ketidakbaikan yang mereka beristikamah menghindarinya. Namun, kekotoran dan kegagalan tidak mengurangi hak saya untuk mencintai, merindukan, dan melambai-lambaikan tangan kepada Aa.

Beliau pernah bertanya kepada saya mengenai sejumlah kalangan di Bandung yang bermaksud mencalonkannya menjadi wali kota. Ini mengingatkan saya pada RUU Keistimewaan DIY yang sedang dikerjakan sambil menjajaki pendapat rakyat Yogya: apakah sebaiknya Gubernur DIY dipilih secara demokratis, ataukah itu disepakati sebagai hak Sri Sultan. Dalam suatu diskusi di TV lokal, kebanyakan rakyat asli Yogya yang menelepon menghendaki Sri Sultan menjadi gubernur permanen, tetapi saya guyoni: “Saya juga setuju kalau Sri Sultan jadi gubernur terus. Cuma, apa ini tidak berarti kita menghalangi karier beliau? Bagaimana kalau suatu waktu Sri Sultan harus jadi Presiden RI?”

Mereka menjawab: “Kan ada Wakil Gubernur Pakualam yang bisa menggantikan.”

“Kalau Pakualam jadi wakil presiden, gimana?” guyon saya lagi.

Maka, terhadap Aa saya bangga, orang Bandung menokohkannya dan berpikir agar beliau menjadi wali kota. Saya bilang, eman-eman, dong.

Apakah ulama, pastor, tokoh agama, intelektual, jangan sampai menjadi tokoh birokrasi negara, dan kalau Aa menjadi wali kota lantas disimpulkan bahwa ia kehilangan idealisme? Kalau begitu cara berpikirnya, maka silakan maling-maling saja yang memimpin negara.

Tapi, ternyata, ketika ada gagasan Aa menjadi wali kota, entah kenapa, hati saya sedih. Juga ketika saya mendengar kabar bahwa Aa bergabung dengan Partai Amanat Nasional. Saya tidak punya kesimpulan apa-apa, cuma ada yang berdesir di lubuk hati saya.

GATRA, Juli 2002

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang