Demokrasi itu Kebenaran Absolut
Hari-hari sibuk memasuki Pemilu tahap pertama April 2009. Aku tak mau ketinggalan kereta kegembiraan untuk berpesta. Aku berusaha maksimal memperlihatkan kepada tetangga kiri kanan lingkungan se-RT bahwa aku adalah warganegara yang baik, aktif dan partisipatoris terhadap hajatan demokrasi Negaraku.
Demokrasi itu harga mati.
Demokrasi itu kebenaran sejati.
Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman perikehidupan yang bersifat absolut, tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyakan, bahkan sedikitpun tidak boleh diragukan.
Al-Qur’an boleh bilang bahwa dirinya “La roiba fihi”, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang-undang di negeriku orang boleh meragukan Al-Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi tidak boleh bersikap demikian kepada demokrasi. Demokrasi-lah la roiba fihi yang sejati. Di dalam praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum kalau menolak demokrasi.
Minimal diabaikan. Kalau engkau diam-diam tidak memilih demokrasi, engkau dianggap tak ada. Tetapi kalau sampai engkau mengajak orang di depan umum untuk menolak demokrasi, engkau melanggar hukum.
Parpol itu kebenaran tunggal. Parpol itu satu-satunya yang berhak menyiapkan jalan kehidupan, jalan memilih wakil rakyat dan pemimpin Negara. Kalau engkau tidak mau berjalan di jalanan yang disediakan oleh Parpol, suara abstainmu tidak dihitung. Kekecewaanmu tidak masuk ke dalam lembaran konstitusi Negara.
Engkau tidak bisa berperan apa-apa selain di jalan demokrasi dan Parpol. Peranmu harus mendukung dan wajib memilih satu di antara Parpol-Parpol itu. Aturan Negara sendiri hanya memakai bahasa “hak pilih” itu sebuah retorika budaya dan taktik politik. Sedangkan yang bertugas memakai kata “wajib memilih” alias “haram golput” adalah kaum Ulama. Sebab idiom “wajib” itu berada di dalam otoritas kaum Ulama, yakni wakil Allah di bumi, yang bertugas menata kehidupan ummat manusia berdasarkan matriks “wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram”.
Di negeriku, fungsi Tuhan, Nabi, Rosul dan Agama sudah di-recover. Di-replace. Sudah secara effektif dan effisien digantikan oleh berbagai institusi kenegaraan. Warganegara negeriku tidak perlu membuang-buang waktu untuk berinteraksi dengan Tuhan yang toh mustahil untuk benar-benar dikenali, tidak perlu sia-sia mewacanakan Nabi-Nabi dan Rosul-Rosul yang terletak terlalu jauh di belakang zaman. Demokrasi dengan sejumlah perangkatnya sudah sangat cukup untuk menggantikan fungsi mereka semua.
Hanya saja, sebagai bangsa yang beradab dan penuh sopan santun: cara menegasikan Tuhan dan Nabi musti halus lembut. Secara basa-basi Tuhan tetap harus disebut di nomor pertama rumusan falsafah kenegaraan. Nabi Rosul Agama Kitab Suci harus tetap diakomodasi dalam berbagai peluang, orang mengaji dan adzan perlu rutin dan keras-keras agar semua orang mendengarnya dengan jelas, sholawat, tahlil, dzikir dan wirid harus dihidupkan dan dilestarikan “sebagai cultural snack”. Sebagai hiasan budaya. Sebagai klange-nan. Sebagai bumbu kehidupan bernegara. Sebagai rantai jimat dikalungkan di leher. Sebagai aksesori yang indah gemerlap.
Kasihan Tuhan dan para Nabi kalau diabaikan sama sekali. Mereka perlu kita “dubes”-kan di Negeri Basa-basi.
Puisi Hewan
Di tengah binar-binar hatiku dalam kegembiraan Pemilu, malah aku dipanggil oleh Guruku. Aduh. Ini orang ngrepotin bener. Nggak toleran sama keasyikanku berpesta demokrasi. Dia memang terlalu kuno untuk mampu menghayati fenomenologi rasa keagamaan modern. Dia pikir kebenaran hanyalah yang dikenalnya saja. Dia susah memahami bahwa upacara demokrasi ini tak kalah khusyuknya dengan sholat, wiridan dan sholawatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
De TodoSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...