Tuhan Tak Punya Negara

321 12 0
                                    

Misalkan suatu hari Anda membuat pakaian lengkap, dari sepatu, topi, celana, hingga baju, dan segala lambangnya persis seperti yang dikenakan Panglima TNI, padahal Anda sama sekali tidak dikenal sebagai anggota militer. Atau, sama dengan kostum kebesaran Bung Karno dengan segala tumpukan tanda jasa di bajunya, kemudian Anda memakainya keluar rumah, pergi ke kantor atau jalan-jalan di mal, maka anda telah menciptakan dua kemungkinan.

Pertama semua orang akan menyimpulkan Anda tidak bisa mengatasi stress gara-gara krisis moneter, hingga saluran saraf di otak Anda mengalami disorganisasi. Atau Anda akan kacau balau dan atasan dikantor Anda untuk segara di PHK. Kedua, aparat segera mencurigai, menghampiri dan menangkap Anda. Bahkan pun seandainya yang anda pakai hanya sekadar kostum prajurit berpangkat paling rendah. Tetapi tak kan ada resiko seperti itu kalau kostum yang anda pakai kostum seperti yang dikenakan Imam Khomaini, meskipun Anda sama sekali bukan seorang imam, apalagi seorang ayatulloh. Bahkan, Anda sama sekali merdeka untuk pada suatu sore memakai kostum seperti para habib atau aulia. Anda bebas sama sekali jika malam hari sesudahnya berganti jeans dan kaos oblong, lantas esok paginya berganti lagi dengan kostum Pangeran Diponegoro, siangnya seperti Maulana Makdum Ibrahim, sorenya lagi persis Abu Jahal yang brukut khas arab.

Kalau demi penampilan Anda di panggung atau di televisi sebagai performer atau presenter Anda berganti-ganti pakaian seperti itu, lantas ada orang yang nggrundel dan menyebut anda sakit jiwa, pasti orang itu tak kenal dunia panggung sandiwara yang sedang Anda peragakan serta belum mendengar referensi tentang kemerdekaan berpakaian, kecuali yang berkaitan dengan militer. Negara hampir mempunyai kekuasaan mutlak atas Anda, sementara Tuhan tak punya Negara. Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hamba-Nya untuk secara formal mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan sistem nilai Negara. Tuhan dicekal memanifestasikan aspirasi-Nya ke dalam pasal-pasal hukum formal Negara.

Kalau peraturan dilanggar, pelanggarnya dihukum. Kalau peraturan Tuhan dilanggar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya. Tuhan hidup abadi sendirian, dan benar-benar sendirian, dalam arti umat manusia menganggap political will-Nya pun sangat berbahaya jika diterapkan dalam formalisme kehidupan manusia. Bahkan, kebanyakan pemimpin umat beragama yang menyembah-Nya pun amat sangat mengkhawatirkan kalau-kalau ada diantara manusia punya gagasan untuk menerapkan hukum Tuhan dalam konteks Negara.

Tuhan bersemayam di luar Negara. Hanya saja ia adalah “Maha Penyelundup” yang luar biasa. Ia lathif, maha lembut, frekwensi kehadiran-Nya dalam kehidupan manusia sedemikian rupa tak terasa oleh manusia itu sendiri. Negara memililiki nilai dan hukum yang garis-garisnya sangat jelas, transparan dan melegalisasi dirinya sendiri sedemikian rupa. Nilai dan kekuasan Alloh hanya gamblang bagi yang memiliki mata pandang atasnya. Tapi yang pasti kuasa-Nya tidak diperbolehkan memiliki legalitas apapun di dalam Negara. Secara de jure Tuhan kalah kuasa atas manusia dibanding pencipta manusia sendiri, mesti secara de facto Tuhan sangat berkuasa, sangat menentukan dan sangat berkehendak dalam formula dan perspektif min haitsu la yahtasib: di luar tata-hitungan manusia.

Simbol dan imaji kekuasaan Negara sangat baku, disakralkan, dan dipertahankan dengan berbagai legitimasi dan itu tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Sementara lambang dan citra Tuhan, umpamanya yang muncul melalui tanda-tanda kesalehan, kealiman, kekhusyukkan, dan kejujuran, namun ia bisa dilanggar oleh siapapun tak ada legalitas formal pada manusia untuk mengurusi pelanggaran itu.

Kalau ada orang membawa bedil dan berpakaian seragam, insyaalloh ia bukan anggota suatu kesatuan militer. Namun kalau ada orang memakai baju panjang sebagaimana dulu dikenakan Sayidina Ali, silahkan jangan menghubungkan dengan nilai tauhid, akhlak, istiqomah, zuhud, atau apapun sebagaimana selama berabad-abad nilai-nilai itu ditandai oleh kostum-kostum tertentu. Pakaian orang sekarang tidak mewakili kepribadiannya, tidak memiliki sambungan dengan kenyataan hati dan realitas prilakunya.

Ini juga berlaku bagi pakaian nasionalisme, patriotism atau heroism, karena kekasaan Negara ternyata juga tidak menjamin bahwa tiga isme itu merupakan substansi kehidupannya.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang