KASUS buku subversif dari abad XVIII Darmo Gandhul - juga Gatoloco - terangkat kembali ke permukaan. Garis pertemuan dua bibir kita mencembung ke atas, sebab kita begitu sinis terhadap karya Ki Kalamwadi itu dan beramai-ramai mengutuknya kembali.
Memang "watak pantai teduh" masyarakat Islam Indonesia berbeda dengan "watak padang pasir kering"-nya kaum muslimin Iran, sehingga reaksi terhadap kedua buku itu amat berbeda dibanding dengan reaksi amat keras Imam Khomeini terhadap Ayat-Ayat Setan. Kaum Muslimin Indonesia dengan bahari Nusantara dan belantara permai bersikap lebih lembut, lentur, dan moderat.
Mungkin alam tropis membuat kita memahami kebesaran Allah yang berkenan menciptakan fenomena dialektika kehidupan. Kalau kejahatan hanyalah kejahatan, pasti bukan ciptaan Allah. Kalau keburukan hanyalah keburukan an sich, tentu bukan model produksi Allah. Sebab, Beliau ini menakdirkan bahwa dari kejahatan yang paling jahat pun kita bisa tetap berguru, dalam arti menemukan ilmu dan hikmah. Dari karya budaya manusia yang paling hina pun, kita tetap bisa berkaca, berintrospeksi, dan melakukan islah.
Sesungguhnya itu persoalan sederhana saja: kita tidak bisa memahami konsep tentang "gajah itu sangat besar" tanpa mendasarkan diri pada konsep bahwa "semut itu kecil". Sinar membutuhkan kegelapan untuk menghadirkan dirinya. Kebaikan memerlukan kejahatan agar supaya ia maujud sebagai kebaikan. Bahkan, kebaikan itu sendiri kita sebut kebaikan karena terletak bertentangan dengan keburukan. Kalau tidak ada keburukan, tak perlu lahir kebaikan. Konsep nahi munkar dipersyarati oleh adanya kemungkaran. Kalau semua binatang sama besarnya - atau sama kecilnya - kita tidak pernah memerlukan atau melahirkan kosakata "besar" dan "kecil". Pino Bahari kita sebut pemenang dengan syarat ada petinju Mongolia yang ia kalahkan.
Itulah lahwun wa la'ibun ciptaan Allah. Permainan dan sendagurau, namun serius. Sepak bola adalah permainan: sekadar dolanan satu bola dan memasukkannya ke gawang. Tapi, Anda harus serius dalam bermain bola, mematuhi aturannya, - offside, hansball, dan seterusnya - dan sama sekali tak boleh main-main. Demikian juga dalam "permainan hidup" ini, kita harus bersungguh-sungguh.
Maka, dengan kebesaran Allah yang menciptakan dialektika itu, tahulah kita apa makna ilmiah Darmo Gandhul. Dengan kata lain, kalau kita hanya sekadar mengutuk dan berhenti hanya mengutuk, kita tak memperoleh ilmu darinya.
Ambil ilustrasi lain: kalau sepatu Anda kena tlethong (kotoran) sapi, Anda mangkel. Apalagi tinja itu mengena ke baju safari Anda, tentu jahatlah tlethong bagi Anda. Lebih-lebih lagi kalau di meja makan Anda tersuguh sepiring tlethong sapi . . . . Akan tetapi, Anda dilarang tidak percaya bisa Anda ambil dari meja. Anda pakai untuk pupuk tanaman, menjelmalah ia menjadi kebaikan yang bersahabat.
Jadi, persoalannya bagaimana Anda mengantisipasi tlethong yang namanya Darmo Gandhul itu demi kebaikan. Bagaimana Anda mengalifahinya: mengubahnya dari "jahat" menjadi "bermanfaat". Bagaimana Anda membantah itu? Betulkah Anda tidak membutuhkan rabuk, cacing, dan lain-lain? Tinja itu juga bagian dari ciptaan Allah. Dan, kalau Allah menciptakan sesuatu, mustahil kalau ia tak berguna.
Konteksnya sekarang mari kita analisis apa gerangan meja makan yang diberi sepiring tlethong itu dalam kehidupan beragama umat Islam tatkala buku itu lahir? Kalau Anda menilai itu tlethong atau Darmo Gandhul secara tekstual, Anda akan gibras-gibras. Tapi kalau Anda memahami secara kontekstual, insya Allah Anda jadi mengerti betapa bermanfaatnya pupuk itu, jika kita tahu meletakkan dan memakainya.
Darmo Gandhul sebetulnya lahir sebagai kritik dalam bentuk sarkasme terhadap kebekuan syariat kehidupan beragama umat Islam, terutama kaum ulama - pada zaman itu. Islam telah diredusir menjadi fikih, dan dengan keseluruhan teologi Islam tidak dibawa untuk sanggup mengantisipasi berbagai gejala kebudayaan dan politik pada waktu itu. Islam diperkenalkan secara overdogmatis, sehingga akhirnya umat Islam tidak ber-tauhid ilallah, melainkan "menyembah syariat", "menyembah salat", "menuhankan fikih" tanpa metabolisme yang kafah dengan bidang-bidang kehidupan yang lain. Celakanya, kebutuhan itu berkembang menjadi aliran, menjadi "versi" yang menuding "subversif" aliran-aliran yang berbeda. Lebih celaka lagi karena kekentalan aliran itu memperoleh legitimasi secara politis dan kultural.
Maka, karya yang dianggap cabul itu sesungguhnya lahir dari "psikologisme kaum pinggiran". Lahir dari jenis ulama tertentu yang tersisih dari percaturan dan tidak memperoleh peluang untuk melakukan dialog. Maka, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah menyebarkan "buku gelap" yang sangat emosional, temperamental, dan sinis - sebab, memang tidak diperkenankan manjadi "buku terang".
Saya bukan sedang "membela" Darmo Gandhul. Tulisan ini sekadar memfungsikan diri sebagai jembatan dialog - semacam cultural brooker di kalangan umat muslimin - antara dua kutub pemahaman dan sikap yang berbeda terhadap fenomena Darmo Gandhul. Selama ini, hanya ada "kaum pengutuk", dan yang saya paparkan di sini adalah kutub lain: "kaum apresiator" Darmo Gandhul. Tokoh aliran terakhir ini adalah Dr. Darmadjati Supadjar, dari Yogya.
Tolong Anda jangan terlalu cepat marah. Toh saya sudah menggunakan "pendekatan tlethong" . . . namun, saya menuturkan semua ini secara amat singkat, dengan "bahasa" saya sendiri.
Inti sindiran Darmo Gandhul adalah ajaran bahwa proses tauhid - pencapaian dan penyatuan dengan Allah - hanya bisa dilalui dengan jalan menaklukkan syahwat. Ibaratnya: orang bertauhid mengendarai barang gondhal-gandhul itu ke rumah Allah. Ilmunya: manusia menaklukkan nafsunya, manusia mengendalikan kemaluannya. Percayakah Anda bahwa pada banyak era peradaban umat manusia telah sedemikian diperbudak, dikendalikan, atau dikendarai nafsunya? Itulah yang dikritik Darmo Gandhul. Mestinya manusia itu joki, kudanya adalah syahwatnya. Tapi, yang banyak terjadi, nafsu joki, manusia diperkuda.
Itulah Kalamwadi. Kalam itu pena, wadi itu rahasia. Ilmu menaklukkan nafsu inilah rahasia Darmo Gandhul. Bahkan, dituturkan bahwa qalam dalam ayat alladzi allama bilqalam bisa jadi bermakna kemaluan, sebab, Allah tidak pernah mengajar manusia dengan pena dalam arti verbal seperti pulpen dan potlot kita sekarang.
Apakah Anda menganggap "kemaluan" itu rendah dan hina? Dialah kunci keberlangsungan sejarah umat manusia. Dialah medium yang paling mewakili tubuh manusia untuk memperoleh puncak nikmat. Dialah yang bertugas memperanakpinakkan manusia dan hanya karena itu manusia perlu menggagas berbagai hal tentang sistem-sistem sosial, filsafat, kesenian, dan ideologi. Dia ciptaan Allah, dan karena itu ia kudus dan suci. Kita selama ini punya kesan seolah-olah kemaluan itu "tabu, hina, rendah," sebab kita hidup dalam atmosfer peradaban yang syahwat diselewengkan tidak untuk fungsi kudus suci yang telah ditentukan penciptanya. Kemaluan terasa hina karena ia memang kita hinakan dengan pelacuran dan penyingkapan aurat-aurat kehidupan.
Secara singkat, harus saya paparkan juga bahwa hubungan manusia dengan alam, antara pria dan wanita, serta kekuasaan negara dan rakyat, sesungguhnya adalah perhubungan syahwat. Demikian hakikatnya. Manusia itu "lelaki", alam itu "wanita". Antara keduanya, diajarkan oleh Allah, hendaknya terjadi persenyawaan yang kooperatif dan saling menyelamatkan atau memberikan manfaat. Manusia harus mengendalikan syahwatnya untuk tidak merendahkan dan mendiskriminasikan kaum wanita. Itu paralel juga dengan ulama fikih harus mengendalikan "syahwat"-nya untuk tidak memperlakukan umatnya hanya sebagai objek yang harus taklid saja. Umat yang bertaklid hakikatnya sama dengan wanita yang diperkosa, sama dengan rakyat yang ditindas, serta sama dengan alam yang dirusak.
Padahal, Allah telah mengajarkan tauhid. Penyatuan. Sekularisme yang meletakkan manusia untuk menaklukkan alam, menimbulkan keterpecahan antara manusia dan alam. Tauhid gagal. Negara yang menindas rakyat, membuat terpecah. Tauhidnya gagal. Pria merendahkan wanita, suami menindas istri: gagal tauhid mereka. Gagal persenyawaan mereka.
Maka, jangan kaget kalau yang terjadi memang bukan tauhid, bukan persenyawaan, melainkan sekadar persetubuhan. Idiom "persetubuhan" itu mencerminkan betapa dangkal dan wadaknya pola hidup kita selama ini, termasuk juga pola internasionalisasi keagamaan kita. Jadi, jangan kaget pula kalau dalam situasi beku dan serbatubuh (syariat) seperti itu, bahkan sekarang bisa lahir Ki Kalamwadi yang baru.
7 Oktober 1990
- Kiai Sudrun Gugat -

KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...