Orang-orang kaya, pedagang-pedagang besar, kalau berkata, “Wah, rugi dong!”, biasanya bukan benar-benar rugi yang mereka maksudkan. Rugi di situ lebih berarti labanya tidak banyak, atau sekurang-kurangnya tidak laba.
Oleh karena itu mereka ini tergolong manusia yang sangat saya kagumi.
Ketahanannya terhadap ketidakmapanan sangat tinggi. Energi spekulasinya spektakuler. Jiwa mereka sangat dinamis. Kalau saya bertamu ke rumah mereka, saya selalu menatap ke sekeliling dengan rasa takjub, “Kok bisa ya beli barang-barang sebagus ini. Membayangkan duitnya saja saya tak bisa…”
Mereka senantiasa berada dalam situasi revivalisme, sementara orang macam saya terkurung oleh survivalisme. Kalau jelas bisa makan semua orang yang saya tanggung di pundak saya, kalau jelas bisa saya sediakan setiap keperluan mereka—bisa saya cukuplah hidup ini. Untuk saya sendiri tak ada problem: makan tinggal beli di warung mana saja, pakaian kotor tinggal cuci sendiri, kalau ngantuk ya tinggal tidur di mana saja badan bisa dibaringkan.
Tapi teman-teman yang saya sebut itu jauh melebihi saya takaran hidupnya.
Meskipun omset hidupnya sudah 30 miliar misalnya, mereka masih tersiksa dan merasa rugi karena belum 40 miliar. Sudah mereka kuasai wilayah bisnis A, B, C, D, dan sejumlah lainnya lagi. Tapi itu masih rugi karena yang Z, yang X, yang M, belum berada di genggaman tangan.
Di dalam dunia perpolitikan, Golkar adalah ‘pedagang besar’ semacam itu.
Meskipun ada lima gunung meletus, Golkar tetap pasti menang jauh dibanding PPP dan PDI. Tapi kemenangan Golkar tidak terasa sebagai kemenangan. Kalau sudah jelas menang lantas bertanding dan memang kemudian menang, maka itu bukan menang namanya.
Harus ada sesuatu yang baru, yang fenomenal, yang istimewa, yang memungkinkan rasa menang itu menggema kembali dalam batin. Kalau kemenangan sudah pasti, maka rasa menang melewati titik jenuh, sehingga diperlukan alternatif untuk membangkitkan kembali rasa menang.
Kemenangan bukan lagi suatu pencapaian obyektif, melainkan berfungsi subyektif. Kalau sudah jelas bisa mencukur gundul kesebelasan lawan dengan sepuluh gol atau lebih—permasalahannya menjadi bergeser. Bukan berapa gol yang akan diproduk, melainkan bagaimana gol diciptakan. Apakah dengan salto, tendangan pisang, atau mungkin dengan ditiup.
Manusia dikendalikan tidak oleh perutnya, sebab perut tak pernah bersedia menampung lebih dari tiga piring nasi dalam sekali makan. Yang dipatuhi oleh manusia adalah lidah. Lidah itu makhluk api. Api tidak mengenal batas. Api tidak bisa mengerti apa yang bernama cukup atau kenyang.
Maka Golkar melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kembali kelegaan dalam kemenangan. Menang sudah pasti, tapi menang yang bagaimana dulu.
Jangan-jangan karena sudah biasa menang, orang lain lantas lupa bahwa ia menang. Maka diperlukan berbagai sepak terjang untuk mengingatkan kembali orang banyak bahwa Golkar itu menang, sangat kuat, bisa merekrut Wak Haji Rhoma Irama segala, yang memang sudah jatuh cinta kepada Golkar sejak enam tahun yang lalu.
Golkar melakukan apa saja yang mungkin. Menghimpun dana Pemilu dengan bermacam metode, yang transparan maupun yang konfidensial. Kemudian media-media massa turut menabuh gendang dan gong. Koran dan majalah beramai-ramai urun instrumen dan bunyi untuk orkestrasi kemenangan yang sudah pasti sejak adegan awal. Koran tidak merasa perlu mengambil jarak dari pentas seni kemenangan Golkar, karena yang penting dari adegan-adegan itu selalu muncul ornamen-ornamen atau faktor-faktor yang bisa dijual.
Kita semua senang menikmati kisah-kisah orang lain siapa saja. Tak ada urusannya dengan perlu atau tak perlu. Yang penting rerasanan itu mengasyikkan. Bahasa Arabnya: qila wa qala. Bahasa Jawanya: tembung jare. Bahasa sehari-hari kita: katanya…. Kata Polan Bung Iwan Fals tak mau anu, sementara si Rhoma malah ano…
Sebuah koran nasional dari Jawa Timur menggambarkan di halaman pertama atas: Rhoma didukung oleh lebih 10 juta massa, Iwan Fals dicintai oleh lebih dari 10 juta massa, Rano Karno difavoriti oleh lebih dari 10 juta massa… Untung saja saya tak disebut dalam gambar itu, sebab akan mempermalukan diri daku—jumlah ‘pendukung’ saya tak ada 1%-nya pendukung idola-idola saya itu.
Koran ini sebenarnya agak menghina rakyat. Dengan penggambaran massa pendukung para public-figure itu seakan-akan masyarakat adalah karung-karung beras yang bisa diangkut kapan saja dan ke mana saja. Massa itu seolah-olah anut grubyug, swargo nunut, neroko katut.
Kalau Rhoma dan Rano mencoblos Golkar maka dua puluh juta pendukungnya otomatis mencoblos Golkar juga. Hal-hal ini membuat kita memperdebatkan sesuatu yang mubadzir. Seandainya sepuluh juta itu anut grubyug juga tak apa-apa, seandainya tidak ya tak apa-apa. Setiap kemungkinan itu tak ada pengaruhnya bagi Golkar. Golkar tetap menang.
Hanya saja saya sendiri diam-diam belajar dari klenik-klenik budaya semacam itu. Saya pribadi tak pernah percaya pada isyu bahwa saya punya massa. Ribuan orang yang datang di Pekanbaru, Medan, Mandar, Surabaya, atau di manapun—itu bukan massa saya. Yang datang di Padang Bulan yang kata orang lebih sepuluh ribu orang itu juga bukan massa saya. Mereka datang tidak untuk melakukan kebodohan dalam menganut saya. Mereka berduyun-duyun datang untuk mencari kebenaran, mendengarkan informasi-informasi, serta untuk bersama-sama berdoa mencari barakah dari Allah.
Kalau saya ajak nyanyi, semua ikut. Kalau saya ajak berpikir bahwa yang benar A dan yang agak salah adalah B, tinggal separo. Kalau saya ajak bersikap bahwa C harus dibenahi, maka massa tinggal seperempatnya. Ketika saya ajak bergabung dalam perjuangan panjang, maka massa tinggal seperenambelas. Ketika saya maju ke medan perang, awalnya ada ratusan yang ikut—tapi di tengah jalan ketika saya menoleh, ternyata tinggal beberapa jumput orang.
Oleh karena itu saya melarang diri saya untuk memiliki posessiveness atau rasa memiliki massa. Saya tidak pernah memiliki mereka dan tak perlu akan pernah kehilangan mereka. Kalau Padang Bulan mau mereka teruskan, ayo diteruskan. Kalau mau stop detik ini, ya saya turun podium detik ini juga, lantas tidur atau ke gardu di pinggir desa. Tak ada bedanya dalam kalbu saya. Jangankan Padang Bulan: alam semesta ini tiba-tiba tak ada, dan saya keselip entah di luar kosmos sebelah mana—ya monggo-monggo saja, tak ada sehelai bulu saya yang tergerak oleh itu.
Saya akan membaduti setiap mitologi massa. Saya akan mentertawakan kata-kata fans, penggemar, pendukung, pengikut, penganut atau apapun.
Apalagi biasanya bukan para penganut yang patuh kepada panutannya, melainkan si panutan yang harus patuh kepada massa penganutnya.
Saya ini sejumput manusia yang sama saja dengan siapapun. Kita semua milik Allah, dan hanya Ia saja yang saya anut untuk melakukan apa saja: mengisi keranjang sampah, menulis puisi, menyanyi, shalawatan, maju perang, memimpin, jualan bakso, menjadi teknisi komputer, atau apa saja.
Ya Hadi, iyyaka habibiii…. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...