SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua’lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria—sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa—tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.
Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.
Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syii di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi—kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi—konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid’ah, yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.
Semacam “dendam sejarah” yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syi’i. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan “Gus Dur dengan 30 juta umat NU-nya” atau “Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya”—yang dimaksud adalah kaum Syii, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.
Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syi’i jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah, ”KPU” yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi—tanpa memedulikan jenazah Nabi.
Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Sayyidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.
Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan. Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad—meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus—namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.
Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...