Mestinya orang dari ketiga parpol itu ngumpul di podium Padang Bulan. Yang PPP diwakili salah seorang ketua DPW-Jatimnya, juga yang PDI. Yang Golkar datang jauh dari Jakarta, yakni orang nomor satu dari DPD-DKI.
Tapi yang PDI mendadak tak datang karena harus siang itu juga ke Jakarta. “Katanya untuk menyiapkan kongres. Kongres apa?” tanya seorang jamaah.
“Lho kok tanya saya…”, saya balik tanya, “Mestinya saya yang tanya sama Sampeyan”. Sudah pasti saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kecuali karena saya bukan Tuhan atau jin, saya juga bukan Mendagri, bukan Menpen, bukan Kasad atau Kassospol ABRI. Saya juga tak ada kaitan apa-apa dengan tarik tambang dana revolusi, dengan rencana transaksi di Kediri hari-hari itu. Soal Latif dan Sutjipto pun saya tak tahu apa-apa, dan mungkin juga tak harus tahu apa-apa dan tak wajib membantu apa-apa. Semua ‘kan sudah besar-besar, sudah bisa berjalan dan nyetir mobil sendiri. Wong saya tidak ikut bikin persoalan, mosok harus ikut mikir bagaimana menyelesaikan persoalan.
Mereka hadir di Padang Bulan juga bukan untuk menjadikan forum pengajian ini menjadi mimbar politik atau ajang kampanye. Mereka duduk di kanan dan kiri saya untuk berdialog langsung dengan jamaah, dengan satu dua perjanjian.
Misalnya, pertama, kita semua ini sedulur di bawah kasih sayang Allah dan sebangsa. Kedua, PPP-Golkar-PDI itu partner dalam pekerjaan demokratisasi. Sekali lagi partner. Saling mendukung dalam konteks pengembangan demokrasi kerakyatan. Jadi ujung cakrawala langkahnya adalah pencapaian demokrasi untuk kesejahteraan yang merata, bukan egosentrisme salah satu pihak.
Dengan demikian, ini perjanjian ketiga: kata pencermin identitas yang harus lebih utama digunakan bukan ‘aku’, ‘dia’, ‘kami’ atau ‘mereka’, melainkan ‘kita’. Dengan posisi ‘kita’ itulah kita berpikir, bertindak dan melangkah. Padang Bulan ini pengajian kebangsaan.
Saya tahu itu agak over-romantik. Oleh karena itu yang paling disediakan dalam forum itu adalah kerendahhatian dan obyektivitas. Bahkan saya sendiri membatasi hati saya dengan meyakinkan diri bahwa tujuan saya dengan pertemuan mereka hanyalah ngajak guyon. Hidup cuma sekali dan sangat singkat waktunya: maka banyak-banyaklah guyon, tenteramkan batinmu, hati tak usah belingsatan dan berloncatan ke sana kemari untuk pamrih-pamrih, target-target, ambisi-ambisi. Hatimu posisikan pada duduk tahiyat saja dari dunia hingga akhirat.
***
Lumayan juga mereka bisa guyon dengan sepuluhan ribu jamaah. Itu pendidikan politik yang baik bagi semua pihak. Terutama bagi jamaah yang berasal dari segmen masyarakat yang sangat ragam itu: dari kaum intelektual dan pengusaha kota sampai bapak-bapak ibu-ibu anak-cucu dari desa-desa. Tema-tema muncul dari jamaah, misalnya soal kenapa harus mayoritas tunggal. Semua dijawab dengan guyon, meskipun isi pikirannya sungguh-sungguh.Si Golkar yang selama menjadi pejabat memang dikenal agak ‘sableng’ dan membuktikan sikap tak takut dipecat—bahkan mengkritik saya yang menjawab pertanyaan jamaah tentang larinya Edy Tansil. “Bukan lari”, katanya keras, “tapi dilarikan!”—kemudian ia menggambarkan secara detil bagaimana yang namanya rumah penjara, sistem penjagaannya dan lain sebagainya yang ia jadikan dasar argumentasi untuk menyimpulkan bahwa lari itu mustahil.
So, saya kalah progresif.
Mudah-mudahan pengalaman sekejap itu bisa membuat pikiran dan batin mereka lebih sublim menjelang Pemilu ini. Mereka bisa menjadi tidak terlalu Golkar-minded, PPP-minded atau PDI-minded. Supaya, Golkar misalnya, tidak terlalu tripping syik.. asyik asyiiik… dengan warna kuning, agar nanti tidak saya kasih usulan untuk mengganti bendera nasional menjadi kuning saja. Kalau perlu saya tambahi usulan agar pemerintah, birokrasi dan Golkar itu diresmikan saja bahwa ketiganya itu sama. Dan biarlah rakyat Indonesia sampai masuk kuburan tahunya ya bahan ketiganya itu sama.
Kemudian guyonan memuncak ketika si Golkar dari sakunya mengeluar-kan tumpukan uang yang ia kasihkan untuk perbaikan jalan di Desa Sebani—yang sebulan sekali menjadi ‘korban’ ribuan kendaraan jamaah Padang Bulan.
Jamaah Padang Bulan kebetulan sering mengumpulkan dana dari kantung mereka untuk masjid atau rumah yatim mana saja yang mengajukan permintaan dana. Padang Bulan sendiri tidak pernah ngumpulin duit untuk Padang Bulan. Sungkan, Pekewuh. Atau karena bodo.
Lha malam itu justru saya yang mengajukan permintaan agar jamaah Padang Bulan ngumpulin dana untuk teman-teman Kedungpring, Kedungombo. Yakni Mbah Jenggot dan teman-teman penduduk yang sekarang bertahan hidup di bukit-bukit liar karena desa mereka tenggelam di dasar waduk. Mbah Jenggot dan teman-teman sih tidak mau ngemis: mereka mau mati di sana bareng-bareng asal dengan kelegaan bertahan pada keyakinan mereka akan kebenaran yang mereka pilih.
Maka saya katakan kepada jamaah, “Ini saya bukan minta Sampeyan untuk membantu mereka, melainkan menyampaikan sebagian hak mereka untuk makan minum normal sebagai warganegara suatu negeri yang kaya raya. Jadi kita ini membayar hutang kepada mereka….”
Si Golkar langsung merogoh sakunya lagi, bahkan sejumlah anak buahnya ia perintahkan untuk mengambil sejumlah uang dari sakunya masing-masing. Malam itu juga, usai pengajian, rombongan dua mobil berisi utusan jamaah langsung berangkat ke Kedungombo untuk menyampaikan amanat pembayaran hutang moral dan rasa malu sejarah itu.
Lha, si PPP dari tadi bengong menyaksikan ‘demo’ si Golkar nyah-nyoh kasih uang. Akhirnya ia mengambil mike dan berkata, “Saya tidak ingin rame-rame seperti ini, karena saya takut tidak ikhlas. Jadi untuk soal sumbangan ini nanti saya akan urusan langsung dengan Cak Nun sendiri saja….”
Si Golkar langsung menyahut, “Yang dibutuhkan sekarang ini bukan keikhlasan, tapi uang!” Si PPP nyampung lagi, “Mungkin ini semacam kampanye agar Sampeyan semua ini jatuh cinta sama Golkar.”
Seorang jamaah nyelonong, “Kalau ini kampanye, tidak efektif. Jalanan di desa-desa sekitar sini masih buruk terus meskipun Golkar selalu menang. Mosok perbaikan jalan di Jombang malah dirintis oleh Ketua Golkar DKI?”
“Yang nyumbang tadi bukan Golkarnya, tapi orangnya!” celetuk jamaah yang lain.
Suasana semakin penuh gelak tawa, tapi diam-diam sesungguhnya bisa mengandung sekam. Saya coba mengaduk suasana lagi supaya lebih cair, “Kalau ini tadi kampanye, maka ia efektif tidak hanya untuk Golkar, tapi juga untuk PPP dan PDI. Yang muncul di hati Sampeyan kan bukan hanya kalimat ‘pilihlah Golkar, supaya sumbangan semakin mengalir,’ tapi juga kalimat ‘makanya sekarang pilihlah PPP atau PDI, supaya sumbangan tidak hanya mengalir dari Golkar saja, tapi juga dari PPP dan PDI….’”
***
Sampai tengah malam gelak tawa tak habis-habis. Sebagian jamaah bertanya-tanya apakah yang dilakukan oleh si Golkar itu tidak takabur? Apakah si PPP itu memanfaatkan alasan ‘tak mau takabur’ untuk menghindarkan keterpojokan untuk menyumbang?Coba saya kemukakan suatu positive-thinking. “Pak Golkar ini menganut tarikat yang karamahnya atau kemuliaannya jahriyah alias gamblang dan terang-terangan. Lha, Pak PPP ini menganut tarikat dan karamah sirriyah, alias yang samar dan tersembunyi. Yang sirriyah ini untuk menjaga kerendahhatian dan kemurnian amal. Yang jahriyah ini diperlukan karena kita semua ini butuh uswatun hasanah, butuh keteladanan tentang segala perbuatan baik. Agar bisa memberi teladan, Sampeyan jangan menyembunyikan perbuatan baik Sampeyan. Di samping itu sering kita ini harus dididik untuk tahu diri. Kalau kita tidak tahu bahwa seseorang itu berbuat baik, kita bisa terjatuh untuk salah menilai dia, bahkan bisa terjerumus ke fitnah. Lha, Sampeyan semua ini terserah saja mau menganut yang mana. Atau lihat-lihat momentum dan konteksnya. Terkadang kita perlu jahriyah, terkadang perlu sirriyah, dan keduanya memiliki kemashlahatannya sendiri-sendiri.” []
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AléatoireSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...