Seorang aktivis mahasiswa datang kepada saya pada suatu siang, bukan untuk keperluan 'mahasiswa', melainkan keperluan 'manusia' biasa.
Tapi karena omong-omong panjang, tak sengaja sampai pada gagasan untuk membikin suatu acara di mana seluruh yang hadir dalam acara itu menyatakan pendapat resmi yang kritis dan transparan tentang Pak Harto dan siapa menurut mereka sebaiknya presiden yang akan datang. Semacam appeal atau mungkin petisi.
Aktivis kita itu bermaksud mengundang Megawati, Amien Rais, dan seandainya bisa, Sri Bintang Pamungkas, kemudian saya. Keempat orang ini yang dimaksudkan akan menjadi penandatangan utama lembar pendapat yang kritis mengenai suksesi 1998.
Kalau Mega, Pak Amien dan Bintang 'kan jelas siapa mereka. Jelas posisi dan sikapnya. Tapi siapakah saya ini? Memangnya saya berpihak pada siapa? Bukankah saya ini dekat dengan kekuasaan? Apakah saya berani berdiri bersama ketiga tokoh nasional itu untuk menyatakan sikap yang demikian?
* * *
Maka dengan agak salah tingkah saya menjawab, "Lho, menurut teman-teman aktivis, saya ini kan anak buahnya Pak Harto. Saya ini omong apapun, berbuat apapun, sekritis apapun, bersikap apapun, Pak Harto tidak akan apa-apa pada saya. Wong saya ini sudah diformat untuk berlagak kritis - padahal sebenarnya di balik itu saya ini kan jape-methe-nya Pak Harto, sudah dikasih beberapa perusahaan dan lain sebagainya. Makanya saya ini mendapat previlese, misalnya kumpulan massa Padang Bulan di Jombang bisa tanpa izin, padahal semua teman-teman setengah mati kalau mengurus izin acara. Bahkan saya ini tidak apa-apa kalau berpendapat bahwa Pak Harto sebaiknya memerdekakan dirinya dari tugas-tugas kenegaraan agar punya kesempatan menikmati kehidupan pribadinya, kemudian perlu melakukan taubat nasūhā agar memperoleh khusnul khatimah...."
Belum jelas apakah teman-teman aktivis itu akan jadi bikin acara itu atau tidak. Tapi jadi atau tidak, maknanya akan sama bagi saya. Kalau ada 'petisi' semacam itu, nanti kesimpulannya adalah bahwa Mega, Pak Amien dan Bintang itu opposan, sedangkan saya sekadar seorang intel yang menyamar.
Tapi setidaknya kedatangan teman-teman aktivis itu membuat saya 'bangun dari tidur'.
* * *
Beberapa bulan sebelum itu saya memang - pada suatu malam - berangkat tidur dengan terlebih dahulu bergumam, "Tuhan, kalau aku bangun, semoga Indonesia sudah tidak begini lagi. Semoga ada perubahan, baik di atas atau di bawah. Para penghuni kursi-kursi - baik kursi kecil maupun besar, kursi rendah maupun tertinggi - semoga sudah berganti. Semoga yang hartanya terlalu banyak, mulai berbagi. Semoga yang sengsaranya keterlaluan, bisa mulai berkurang."
"Tetapi kayaknya harapan itu sangat sukar terkabul, Tuhanku, kalau aku harus berpikir logis dan realistis. Tidak bisa saya imajinasikan secara intelektual, meskipun mungkin bisa secara emosional, bahkan bangsa kita akan mampu mengerjakan perubahan-perubahan mendasar yang sesungguhnya sangat dibutuhkan...."
"Kenapa?" saya bertanya kepada diri saya sendiri.
Dan saya menjawab kepada diri saya itu, "Karena kesebelasan pengubah sejarah kita punya sebelas gawang, sehingga saling berupaya memasukkan bolanya masing-masing ke gawang teman sekesebelasannya sendiri...."
* * *
Kemudian saya pun tidur, memasuki rimba-rimba belantara yang tersembunyi dari pengetahuan sahabat-sahabatku sendiri, termasuk pers atau kebanyakan orang lainnya.
Ketika pada suatu hari saya mendengar dari redaktur tabloid ADIL bahwa salah satu tema yang ia liput adalah soal motor ICMI, Adi Sasono, akan didubeskan dan menolak - tiba-tiba saya merasa seperti terbangun dari tidur panjang.
Bukan masalah Adi Sasononya, melainkan saya-nya ini yang ternyata sudah kelamaan tidur sehingga semakin blo'on terhadap persoalan-persoalan nasional Indonesia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...