Indonesia yang Suci Murni

62 2 0
                                    

Menjelang sore hari Selasa yang lalu, bersama dua orang teman saya dolan ke Kebun Jeruk Jakarta Barat. Tapi yang akan kami temui, tidak ada.

Salah seorang ustadz mengatakan bahwa beliau sedang pergi ke Kediri, Jawa Timur, kemudian terus ke Lombok.

Kami tentu saja menyesal, karena dua tiga kali ketika saya pernah ke sini dulu; selalu saya bisa makan enak dan sebanyak-banyaknya, tanpa harus pekewuh atau menjalani ‘syariat budaya’ macam-macam.

Saya tergolong amat susah makan, sehingga usus dan organ tubuh saya yang lain banyak menganggur. Jadi awet, tak gampang aus. Kalau seandainya hidup ini bisa dijalani dengan hanya makan seminggu sekali, betapa besar syukur saya kepada Tuhan. Dalam situasi normal, saya mau makan hanya berdasar rasa lapar yang memuncak, berdasar suasana hati dan berlangsungnya persahabatan dengan entah siapa yang makan bareng dengan saya.

Tapi gimana. Kita ini sejenis ‘hewan’, meskipun bukan pemamah biak, tapi pemamah segala jenis makanan, bahkan sudah berkembang menjadi pemamah proyek, pemamah sahabat sendiri, pemamah aib orang lain, dan lain sebagainya.

Kita ini kanibal-kanibal yang lebih nikmat memberitakan dan mempergunjingkan keburukan orang, daripada mengiklankan kebaikan dan kemuliaan. Teman kita memberikan 90% penghasilannya kepada kepentingan sosial, kita tak acuh saja; nanti sekali dia buang angin sampai bunyi di tengah rakaat shalat—kita rasani dia habis-habisan.
***
Karena beliau tak ada, saya ninggali surat. Tak ada kata-kata di kertas itu kecuali, pertama, la ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu min azh-zholimin. Kedua, innama asyku batstsi wa huzni ilallah. Dan ketiga, wa la ya’uduhu hifzhuhuma wahuwal’aliyyul ‘azhim.

Kalimat yang pertama itu tradisi dan ‘hobi’ ndreming saya sehari-hari: Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, dan sesungguhnya aku tergolong di antara orang-orang yang zhalim.

Di pengajian kebangsaan Padhang Mbulan, itu merupakan ucapan ‘wajib’, dan terlebih-lebih lagi bagi diri saya sendiri. Indonesia Raya ini negara dan bangsanya suci murni, sementara saya bergelimang dosa, belepotan kotoran.

Berbuat baik, bisa menjadi keburukan dan bahaya bagi orang lain. Bekerja dan berkarya, bisa hanya memproduk kedengkian dan khianat pada orang lain.

Beramal, bersedekah, bisa malah membuat saya menjadi budak orang lain.

Jadi pengakuan kedhaliman diri di hadapan Allah adalah jalan terbaik agar Allah tetap sayang kepada saya dan tetap mempercayai saya untuk menjalankan tugas hidup tertentu, meskipun kecil-kecilan dan tak besar manfaatnya bagi masyarakat.

Kalimat kedua adalah ‘lagu tangis’ saya sehari-hari juga. Sambil bengong di kendaraan, sambil memejamkan mata di tengah keramaian, sambil tengkurap di kamar—saya sangat senang mbrebes mili, menerembeskan airmata dan bersentimentilria kepada-Nya: Hanya kepada-Mu kuadukan segala beban, duka derita dan kesunyian hidupku….

Kalimat yang ketiga adalah penumpahan kepercayaan bahwa Ia maha me-melihara langit dan bumi. Biasanya kalau baca ayat Kursi, bagian yang itu saya ulang sembilan (9) kali. Baik buruk hidupku kulaporkan kepada-Nya untuk diadili. Engkau adalah penghuni bumi dan langit yang dijaga oleh-Nya, dan karena itu engkau borgol tangan eksistensimu di hadapan kuasa-Nya. Allah merawat keseimbangan langit bumi, dan sepenuhnya terserah Ia jika seandainya demi keseimbangan sunnah-Nya itu engkau harus disuguhkan sebagai makanan yo jin yo setan yo demit, yo periprayangan yo druhun dimemonon lengeng ya kodim koramil, yo polsek yo aktivis, yo cangkem trocoh yo koran yo tabloid… engkau rela, engkau Islam, engkau ikhlas.

Itu semua akan memerdekakanmu, dan engkau gagah dalam kemerdekaan sunnah-Nya itu.
***
Di tayangan televisi, terkadang kita menyaksikan Pak Polisi sedang memusnahkan botol-botol bir dari agen penjual tertentu. Apakah karena bir haram dan merusak manusia? Apakah semua bir dan minuman keras dimusnahkan? Tidak. Negara tidak mengikatkan diri pada halal haram, tetapi oknum-oknum bisa mengikatkan diri pada distribusi upeti. Bir yang dimusnahkan biasanya dimiliki oleh pihak yang ada soal dengan upeti.

Upeti, kalau hubungannya dengan barang jualan, tentu bersifat ekonomis.

Tapi ada juga, misalnya, upeti politik yang berupa jumlah suara.

Ada satu dua koruptor diadili dan dihukum. Adakah karena pemerintah dan kita semua pantang korupsi? Dan apakah siapa saja yang melakukan korupsi akan memperoleh perlakuan yang sama? Tidak. Masalahnya, bisa upeti itu.

Bisa juga, demi supaya ‘keseimbangan’ tetap bisa dijaga, diperlukan seekor kambing hitam. []

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang