Tuhan, mbok ya saya ini Panjenengan ajari bagaimana mampu ngomong tidak. Tidak yang biasa-biasa saja deh, enggak usah yang pakai tanda seru atau tanda penthung. Soalnya yang gagah 'kan cuma Panjenengan, buat apa saya nyeru-nyeru atau menthung-menthung. Hanya Panjenengan-lah Yang Maha Tanda Seru. Karena itu, saya ingin berguru. Toh, tidak akan jadi berkurang atau lebih ilmu-Mu.
Ngomong tidak itu kelihatannya gampang, tapi walah! Bisa-bisa saya modar. Entah karena dikemplang entah dibilang makar. Padahal banyak sekali lho yang harus saya tidak-in. Panjenengan kayak enggak tahu aja. Misalnya ada yang bilang kaki ayam itu dua dan kaki saya juga dua, maka ayam sama dengan saya. Enggak lucu, ya? Tapi Panjenengan 'kan tahu, karena ayam itu kecil dan saya ini besar, maka saya makan ayam. Kesimpulannya, yang besar makan yang kecil. Coba, 'kan saya harus bilang tidak. Contoh lain amat banyak, seperti bintang kecil menghias angkasa, tapi itu off the record, kita sama-sama tahu deh.
Tetapi ngomong tidak 'kan sukar. Memang ada tidak yang tanpa kata tidak. Misalnya dengan cukup diam, atau misalnya tidak mengerjakan apa yang diperintahkan, dianjurkan, atau dikondisikan. Tapi 'kan gawat. Habis kepada siapa lagi saya minta jaminan? Wong satu-satunya jaminan hanyalah segala sesuatu yang umumnya saya tidak-kan.
Edan, apa hidup sudah begitu sumpek? Panjenengan pasti berpura-pura bertanya demikian. Dan Panjenengan pasti sudah tahu tanpa pengetahuan, bisa ngerti tanpa pengertian, bisa ngelihat tanpa penglihatan. Bahkan bisa bersabar tanpa beban kesabaran. Tapi saya?
Sumpek sih tidak. Cuma baik dan buruk 'kan sudah saling terkait. Halal dan haram susah dipilahkan. Dosa dan pahala sudah dikategorikan. Sebab itu sistem. Tindakan pribadi jumbuh dalam kebersamaan. Payah ditentukan oleh uang, yang saya pegang ini duit halal atau duit haram, sebab intinya bukan hanya pada perbuatan saya, tetapi bahwa perbuatan saya itu adalah bagian dari perputaran mesin yang entah apa kategorinya dalam catatan malaikat. Nggak bisa saya pahami lagi bagaimana para mubaligh bisa bertahan dengan logika yang itu-itu juga dalam melihat akhlak.
Panjenengan 'kan tahu ada tidak yang tampak seperti ya. Sementara ya kelihatan seperti tidak. Ya seakan-akan tidak, tidak seolah-olah ya. Ada ya yang ketidak-tidakan, ada tidak yang keiya-iyaan. Ya bisa disulap menjadi tidak, tidak bisa dijelmakan jadi ya. Orang ya disuruh bilang tidak, orang tidak bisa dipaksa bilang ya. Ya menjadi raksasa, mencetak segala tidak menjadi ya, kalau saya bilang ya, maka bereslah semua. Tetapi kalau ngomong tidak, walah, hati menjadi sepi, gendruwo menertawai saya.
Lha sial sih. Banyak guru saya cuma pandai mengajarkan segenap ya. Tidak memang mahal, sehingga orang menyimpannya saja dalam hati. Tidak telah menjadi pusaka, yang suatu hari nanti akan berubah menjadi berjuta tangan Ratu Adil. Hanya Ratu Adil, sebab Raja Adil, memang tidak ada.
Ah, Tuhan. Panjenengan ini bisa-bisa aja bikin cerita. Sekaki-kali pinjam deh secuil mripat Panjenengan, agar saya mampu melihat secara benar cerita karangan Panjenengan itu. Juga kalau boleh telinga Panjenengan, untuk mendengarkan zaman, serta tangan Panjenengan, buat menggenggam air bah kenyataan.
Habis mau nimba ke mana? Belajar kepada siapa? Berguru kepada siapa. Ilmu? Batu? Ruh? Angin? Matahari? Buku? Pedang? Atau primbon masa lalu? Tetapi saya yakin Panjenengan bukannya membisu, melainkan telinga saya yang budek.
Hidup itu lama lho, Tuhan. Terlalu lama untuk tak bisa ngomong tidak. Waktu terentang panjang, bisa menampung sejuta tidak, tapi iramanya terlalu sesak, untuk bilang satu saja tidak. Dinding amat tebal. Ruang terbagi-bagi. Bagian terbagi-bagi. Tanpa pintu. Angin membusuk. Pikiran meracuni jiwa. Sukma tertidur, takut ngerti sampai di mana. Kata tidak menumpuk di sel-sel amat sempit, membeku di butir-butir darah. Mripat-ku memerah. Tuhan, walah! walah!
He, tikus, kok begitu murung? Ah, Panjenengan ini ndagel. Bukan soal murung atau riang; itu 'kan gampang, tinggal tekan kenop. Saya cuma mau bikin intro untuk zikir tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, sepanjang pagi siang sore malam fajar pagi. Setidaknya dalam hati, di napas, detak jantung, dan aliran darah.
Soal cinta saya kepada Panjenengan, jangan sangsikan. Cuma sekarang ini lho, ajari saya bagaimana membedakan ya dan tidak, tanpa hitung untung, tanpa embel-embel, tanpa berani atau kecut. Biasa-biasa saja. Kalau toh mesti pakai topeng, hendaknya itu topeng produksi Panjenengan juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...