Maiyah, Pilkada, dan SMS Gajah Mada

110 1 0
                                    

Lagu Pilkada Damai bersyair bahasa Sunda diaransir dan diiringi KiaiKanjeng, dinyanyikan oleh salah seorang pengurus KPU Kotamadya Tasikmalaya, mengawali prosesi pencanangan Pilkada Damai. Tiga calon Walikota dan tiga calon Wawali diarak ke panggung bagai pengantin.

Tempo langkah mereka dijembatani oleh ritme musik, kostum mereka dipilih oleh masing-masing menggambarkan cara pandang dan misi visi mereka atas kepemimpinan dan pembangunan kota Tasikmalaya. Suasana tradisi Sunda mengepung, atmosfir persaudaraan kemanusiaan dan kearifan budaya memberi landasan dan watak bagi persaingan politik dan praksis demokrasi.

Kendang KiaiKanjeng pasti kalah dibanding kendang Sunda, tapi masyarakat mafhum, musik bukan ‘nasi’, hanya bumbu. Nasinya adalah ikhtiar mengubah watak dan moral politik: bagaimana ada upaya uswatun hasanah demokrasi pemilihan pemimpin yang sebisa-bisa menjauh dari maksiat: money politic, permusuhan, persaingan yang tidak dewasa, ketidakcerdasan menilai pemimpin dan kepemimpinan dan pemimpin.

Maksiat kepada Allah tidak hanya dosa akidah dan akhlak, tapi juga kebodohan, salah satu sandangan rutin bangsa Indonesia. Manusia itu ahsanu taqwim, makhluk unggulan Allah, ciri utamanya adalah pernikahan antara otak (hardware, sistem syaraf kesadaran) dengan gelombang (elektromagnetik) dari Allah yang Ia sebut akal (software, al-‘aql). Salah satu jenis kebodohan bangsa Indonesia yang ‘saru’ alias ‘gak ilok’ adalah menjual hak demokrasi kerakyatannya dengan menerima atau menukarkannya dengan uang sogokan beberapa puluh ribu dari calon penguasa.

Untung teman-teman KiaiKanjeng sudah koordinasi sendiri dengan KPU Tasikmalaya merancang penyutradaraan Maiyah Pilkada yang indah itu. Memang acara itu benar-benar mengacu pada sistem dan atmosfir forum Maiyah. Di mana semua pihak yang berbeda bahkan bertentangan keinginan ngumpul jadi satu, mengabdi tidak kepada kepentingan masing-masing, tapi kepada “yang terbaik bagi rakyat”. Musik hanya minyak pelumas. Untuk apa bikin grup musik dan nyanyi kalau tidak aksessabel terhadap pertumbuhan positif sosial masyarakat.

Terpaksa saya ulang lagi Gordon Brown, PM Inggris, berbicara tentang karakter musik KiaiKanjeng di London: “Musik yang barusan kita nikmati, ragam bunyinya, pola aransemennya, sikap budaya dan kemanusiaan yang melatarbelakangi proses penciptaannya: saya temukan bisa menjadi contoh formula tata dunia yang akan kita bangun bersama. Yakni semua unsur budaya, semua lingkar bangsa-bangsa, semua agama, keyakinan dan ideologi, bersama-sama mengupayakan titik temu, peluang kerjasama, dengan semangat perdamaian dan prinsip demokrasi, membangun sebuah peradaban baru millenium semesta yang indah”.

Sebelum Tasik KiaiKanjeng maiyahan dengan saya di Tuban, kemudian saya ke Jakarta dan Cilegon, ketemu mereka lagi di Tasik itu, dan saya seperti menyaksikan grup musik baru karena saya tidak tahu mereka sudah bikin sesuatu yang baru dan gladi resik bersama KPU Tasik dengan nomer-nomer musik yang saya sendiri baru dengar.

KiaiKanjeng bukan grup hebat, cuma polos dan siap melayani. Semua dilayani asal baik menurut ukuran nurani manusia dan koridor “offside”nya Tuhan. Keroncong ya dilayani, pop Barat ya ayo, bluess country, Arab klasik, maupun modern tembang Jawa Cina Mandar dan apa saja. Di Helsinki berkolaborasi dengan pianis Inggris, drummer Perancis dan vocalis Venezuela. Di Mesir kolaborasi dengan grup musiknya almarhuman Ummi Kaltsum si bintang timur, Kaukab es-Syarq. Di Skotland kolaborasi dengan big pipe, di Vatikan mengaransir lagu-lagu rohani universal yang bernotasi dan bernuansa gereja namun bersyair shalawat. Di Malaysia pentas keliling dengan grup anak-anak. Macam-macam pengalaman mereka. Nanti tgl 26 di Jombang mereka ngemong anak-anak mereka Letto, terus tanggal 27-nya di Sidoardjo bareng lagi. KiaiKanjeng adalah “bapak” musiknya Letto.

Maka di Tasikmalaya, KiaiKanjeng diterima hatinya oleh masyarakat dan pengurus Negara, tanpa terasa bahwa mereka adalah orang Jawa. Kan Jawa Sunda masih ngganjel hubungannya gara-gara Perang Bubat Gajahmada nyegat rombongan kemanten. Ada dendam berabad-abad, diam-diam, dan entah kapan harus dibereskan. Tidak ada Jl Gajahmada atau Jl Brawijaya di Jawa Barat. Saya bilang kepada teman-teman Sunda Wiwitan: “Waktu Pak Gajahmada mau nyerang rombongan Prabu Siliwangi, beliau tidak SMS saya dulu. Seandainya kontak saya dulu, insyaallah saya tawar rencananya itu…”. Lambat atau cepat, Sunda dan Jawa kita bukan menjadi “kita”, tidak dalam semua hal berposisi “aku dan engkau” atau “kami dan mereka”.

Setelah ritus Pilkada Damai Tasikmalaya, damai aman lingkungannya, berasnya, uang sekolah anak-anaknya, harga sembakonya—terpaksa saya jadi Ustad bin Kiai. Menguraikan sejumlah ilmu tradisi mengenai kepemimpinan, misalnya karier dari Ing Ngarso Sung Tulodo, naik derajat ke Ing Madyo Mangun Karso, naik martabat lagi ke Tut Wuri Handayani. Terus ilmu kepemimpinan menurut Al-Quran: berat hat pemimpin kepada rakyatnya, ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittumharitsun ‘alaikum bilmu'minina roufur-rohim… ditambah urutan 14 Asmaul Husna, Manunggaling Kawulo lan Gusti: Allah dan rakyat menyatu di kalbu pemimpin. Kalau pemimpin mengingkari Allah, rakyat yang menangis. Kalau pemimpin menyakiti rakyat, Allah yang murka.

Ah, hidup ini begitu luas dan ragam. Lumpur Sidoarjo sudah begitu menyeramkan dan mensirnakan banyak hal mendasar dari kehidupan puluhan ribu warga. Tetapi dilihat dari amat luasnya semesta kehidupan dan sangat kompleksnya persoalan bangsa Indonesia: lumpur Sidoarjo hanya sebagian kecil. Semoga semua pihak tidak terkurung di dalam kekerdilan emosi, nafsu subyektif yang tak dikasih helm oleh akal sehat, dan tetap percaya kepada masa depan kemanusiaan dan kasih sayang Allah, yang jauh lebih besar dibanding Presiden, DPR, MPR, dan Negara.

Surya, 4 Agustus 2007

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang