Waktu di pesantren dulu, “lagu pop” Jon adalah suara ngaji Syekh Abdul Basith bin Abdul Shomad yang energetik, stamina tinggi, dan suka melengking-lengking.
Kalau capek belajar, atau istirahat main badminton, Jon rengeng-rengeng(bersenandung lirih)—“Huwalladzi jaʻala lakum al-ardha dzalulan famsyu fi manakibiha…” (Q.S. 67: 15)
Tapi Pak Kiai kurang menyukainya. “Terlalu muluk-muluk, kurang dingin dan tenang, serta kurang menggambarkan keikhlasan di hadapan Allah”, kata beliau. Pak Kiai lebih suka ngajinya Khusyairi, Ar-Rahman atau Al-Hujurat, atau tadarrusbeliau yang khusyuk dan stabil itu.
Sekarang Jon baru mulai mengerti kecenderungan beliau. Yakni setelah Jon banyak mendengar ‘prestasi-prestasi’ ngaji para qari’ kontemporer kita di kaset atau di panggung.
Lagu-lagunya macam-macam. Pakai ‘dialek’ khusus segala. Bahkan ada ngaji koor. Duet. Meskipun belum ada trio atau kuartet. Tapi yang paling Jon rasakan (jadi, ini mungkon subjektif) ialah getaran show. Tidak semua. Tapi banyak pengaji yang tampak terlalu ingin pamer kebolehan, terlalu sadar ditonton, terlalu menampilkan suatu gaya dan watak qira’ah yang ‘diperuntukkan’ bagi khalayak di mana seorang qari’ exist.
Tentu saja Jon tak berhak mengklaim bahwa mereka kurang lillahi ta’ala. Tetapi setidaknya ketika mendengan ngaji semacam itu, Jon tidak merasa dirangsang untuk memasuki suatu keikhlasan religius.
Di depan suatu show ngaji, yang Jon rasakan adalah getaran kejiwaan sekularistik. Sebab sekularisme bukan hanya benda-benda dan perilaku budaya, tapi pada mulanya adalah sikap ruhani jauh di dalam diri manusia sendiri.
Wallahu aʻlamu bi al-shawabi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AléatoireSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...