Burung Pilkada

81 1 0
                                    

Entah benar entah tidak, tanyakan pada ahli bahasa. Kalau pun tak benar, tak apa juga karena yang penting substansi yang dikandungnya.

Kata munafik, kabarnya, berasal dari akar kata nama burung yang hobinya menyembunyikan kepala ke dalam pasir. Misalnya, pas ada sesuatu yang menakutkan hatinya: badai, awan yang mengerikan, atau ada binatang lain yang mengerikan hatinya.

Si burung itu menipu dirinya sendiri. Ia menyembunyikan diri dari pengetahuannya tentang dirinya sendiri di depan kenyataan yang tak bisa diatasinya atau keadaan yang akalnya sendiri tak bisa menerimanya.

Jelasnya: burung apa itu? Terserah. Yang pasti: itu adalah diri kita sendiri.

Termasuk saya, tapi bukan Anda. Saya munafik, Anda pasti bukan. Saya hampir tidak pernah melakukan suatu perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi, pikiran saya sarat strategi penipuan—tak hanya kepada orang lain, melainkan juga kepada diri saya sendiri.

Kalau saya shalat, bukan saya benar-benar shalat. Saya ngakali Tuhan. Shalat saya hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang saya simpan. Anda tak boleh tahu. Misalnya, shalat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito. Tapi, apa aslinya pamrih saya, Anda tak akan tahu. Sebab Anda terlalu meremehkan atau under estimateterhadap tingkat kejahatan dan keserakahan saya.

Kalau saya pergi umrah, Anda harus cerdas dan waspada. Karena sebenarnya Tuhan dan rumah-Nya bukan fokus dari kepergian saya. Anda sebaiknya jangan terlalu lugu. Hidup ini sangatlah luas dan canggih, jumlah kemungkinan tak terhingga. Semesta nafsu kehidupan serta karier saya melebihi luasnya cakrawala kemungkinan.

Kalau saya berbuat baik, misalnya bikin pengobatan massal, memacu pemberantasan narkoba, memberi bantuan dan santunan, jangan dipikir tujuan utama saya adalah deretan kebaikan itu. Ada yang lebih fokus di kandungan hati saya, misalnya pilkada.

Kalau saya memberi slogan “Kampung Beriman”, Anda jangan terjebak oleh kata iman. Sebab yang saya maksud sebenarnya tak ada hubungan mendasar dengan iman. Umpamanya saja, iman adalah indah dan nyaman. Anda jangan berpikir linear: sebab tidur semalaman dengan pelacur di cottage itu indah dan nyaman. Korupsi sejumlah uang yang bisa dipakai untuk menyejahterakan penduduk juga sangatlah indah nyaman.

Itu sekadar contoh. Intinya, jangan percaya kepada saya dan apa pun yang saya lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual. Saya seorang yang fasih, mampu mempesonakan orang banyak dengan ayat-ayat Tuhan yang saya bacakan. Serta sanggup memukau publik dengan uraian ilmu sosial aplikatif empiris. Tapi, kalau parameter yang Anda pakai untuk menilai saya adalah ucapan-ucapan saya, maka Anda orang dungu.

Saya burung yang piawai menyembunyikan kepala dalam pasir. Wajah saya yang sampai ke pandangan mata Anda adalah wajah yang sudah saya poles. Setiap saya ucapkan kata “demokrasi”, sebenarnya bukanlah demokrasi itu sendiri yang saya maksudkan. Anda perlu bikin simulasi: mungkin saya sedang mencari keuntungan pada momentum dan jenis kasus tertentu dengan menunggangi demokrasi.

Kalau saya menginformasikan sesuatu, asahlah kepekaan balaghah, ketajaman ilmu komunikasi. Bahkan bukalah lembar buku spionase: memang saya sedang memaparkan informasi, tetapi saya batasi pada sisi-sisi yang menguntungkan. Dalam ideologi dan strategi komunikasi informasi saya, terkandung keharusan disinformasi taktis sesuai dengan posisi saya dalam peta kepentingan-kepentingan. Kalau Anda tertipu atau tersesat oleh informasi yang disinformatif dari saya, itu semata-mata karena Anda masih berpikir manual. Sementara saya sudah sampai ke micro-digital. Bahkan setara dengan lelembut yang tak terukur tingkat samarnya. Demikian juga kalau saya ucapkan kata “rakyat”, “Tuhan”, “religi”, “pemberantasan korupsi”, “transparansi”, “reformasi”, atau ratusan kata, idiom, jargon, dan ikon lainnya.

Akan tetapi, percayalah, saya tidak punya niat sedikit pun untuk menghancurkan Anda atau merusak keadaan masyarakat. Saya tak sehebat itu. Mana mungkin saya punya kemampuan menghancurkan. Yang saya lakukan sederhana saja: jangan sampai ada kata saya ucapkan, jangan ada langkah apa pun yang saya putuskan, yang tidak saya yakini akan menguntungkan saya pribadi secara materi, kekuasaan, atau nama baik.

Saya seorang munafik. Tujuan dan cara harus saya bolak-balik sesuai dengan apa yang pada momentum tertentu memberi saya laba. Wasilah wa ghoyah: mana sarana mana goal, mana tujuan mana cara, harus patuh kepada kepentingan saya. Menjadi pejabat dan mengabdi rakyat: yang mana sarana yang mana tujuan? Menjadi pejabat supaya bisa mengabdi rakyat ataukah mengabdi rakyat supaya jadi pejabat? Menjadi pejabat itu cara atau tujuan? Kedua-duanya bukan pilihan mantap bagi saya. Kurang valid. Terserah mau jadi pejabat atau jalannya dengan mengabdi rakyat, yang penting kepentingan pribadi saya tercapai, keuntungan materiil saya terpenuhi.

Saya beralamat di pintu, satu kaki saya di dalam rumah, kaki lain di luar rumah. Kalau ada makanan di dalam rumah saya cepat dapat, kalau rumah kebakaran saya duluan lari. Saya tidak di dalam atau di luar rumah. Saya tidak lelaki tidak perempuan. Saya banci. Itulah posisi paling strategis dan marketable.

Gatra, 6 Agustus 2007

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang