Mudik Keluarga, Mudik Bangsa

183 2 0
                                    

Andaikan kata mudik berasal dari bahasa Arab: dho’a = hilang, mudli’ = orang yang menghilangkan, orang yang kehilangan. Menjelang Lebaran, orang berduyun-duyun pulang dari perantauan ke kampungnya, karena selama setahun mereka merasa kehilangan. Kemudian, mereka mudik untuk menemukan kembali.

Meskipun sudah tinggal permanen di Jakarta atau di negeri mana pun, kampungnya adalah rumah sejatinya. Saya punya banyak teman-teman PKI atau yang di-PKI-kan hidup puluhan tahun di Jerman, Ceko, Prancis, tapi hatinya tetap berdomisili di kampung kelahirannya. Tak hanya di Indonesia, tapi lebih detail: di rumah keluarga di kampungnya. Banyak di antara mereka mengimpor istri dari kampung. Karena rumah mereka di mancanegara haruslah tetap terasa seperti rumahnya di kampung.

Kalau agak sok ilmiah, katakanlah: ada mudik sosiologis, ada mudik antropologis, ada mudik kosmologis. Mudik sosiologis itu waktunya ‘sekarang’, ruangnya adalah skala atau teritori sosial budaya. Kita cari hidup, mengembangkan diri, dari kampung bersekolah keluar, bekerja, sampai jadi presiden atau gelandangan di tepian jalan protokol Jakarta. Di depan ada masa depan, di belakang ada masa silam. Masa silam sebenarnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan masa depan.

Masa silam memberi kenikmatan prima karena cukup dikhayalkan, dan mudah menambah unsur dalam khayalan merdeka setiap orang. Kita jadi presiden kemudian memitologisasikan kepada seluruh rakyat bahwa asal usul kita adalah anak petani, sambil meyakin-yakinkan alias menipu diri kita sendiri tentang apa saja yang kita manipulasikan secara sosial. Atau kita rekayasa bahwa memang sudah selayaknya kita jadi presiden karena aslinya kita bernasab Keraton Solo atau Yogya, atau keturunan Prabu Brawijaya, Sunan Giri, atau turunan Rasulullah Muhammad Saw.

Pandangan ke masa silam sungguh kenikmatan tiada tara. Sementara masa depan berujung di maut. Kalau kita gagal berkarier, hidup miskin, tak punya keunggulan apa-apa, menabung kematian dalam kehidupan, mungkin malah agak enteng memandang ke masa depan. Maut sudah kita akrabi melalui riwayat-riwayat kesengsaraan dan kegagalan.

Tapi kalau kita sukses, dari sopir meningkat tata usaha meningkat wartawan terus jadi menteri dalam kabinet dan negara yang nirkualifikasi: kita semakin takut meninggalkan apa yang kita sangka sukses hidup. Semakin uzur usia semakin menyesali berkurangnya umur. Semakin tua usia semakin karib dengan kekosongan dan kengerian berada dalam kubur. Maka upacara mudik kita perlukan agar para kerabat dan handai tolan di kampung mengerti sukses kita, dan itu merupakan snack kepuasan sosial budaya sesaat.

Orang tak pernah punya sukses kayak saya terbebas dari post-power syndrome. Tetapi bisa juga ada dialektika yang sebaliknya. Karena hidup tak begitu sukses, masa depan terjauh hanya tua dan mati, maka mumpung masih dikasih jatah hidup oleh Tuhan, mending kita rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif adalah seusai Ramadan, semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan hidup yang menggumpal di kalbu.

Mudik sosiologis setiap Lebaran menjadi momentum yang jangan sampai terlewat. Karena masih lebih nikmat mengenang sejenak asal usul sosial budaya kita di kampung bersama keluarga, dibandingkan dengan menikmati kehidupan nyata.

Orang sukses sangat membutuhkan mudik antropologis, karena melancong ke wilayah nasab diri dari Hayam Wuruk sampai Homo sapiens dan mungkin Homo erectus sungguh menambah bersinarnya ikon eksistensi kita. Sekarang bahkan sangat banyak kartu ID yang mencantumkan nama plus gelar plus nenek moyang hebat. Kebanyakan orang akan mengenal nama itu dan kagum kepada pemilik ID-card itu. Nama Gus Fullah bin Kiai Haji Fulan keturunan Syekh Falun bin Maulana Fulun bin Ayatullah Fulus… mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan.

Mudik Lebaran setahun sekali, tapi banyak modus mudik yang bisa kita lakukan. Saya tidak punya prestasi apa-apa tidaklah penting, pokoknya saya keturunan Nabi Ibrahim.

Adapun mudik kosmologis adalah hakikat setiap detik untuk berproses dalam lingkar Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Itulah prinsip utama kehidupan yang oleh kebudayaan manusia dialihkan menjadi tanda kematian. Kalau jalan kaki dari Jakarta menuju Jakarta, maka rutenya harus melingkar. Orang tak bisa untuk tidak mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup, adalah kembali.

Takkan ke mana-mana engkau pergi, meskipun kau lalui seribu peperangan dan kemenangan, kau libas setiap pesaing, kau menangkan pemilihan nasional, kau pertahankan kursi kekuasaan, kau memancar di puncak mercusuar popularitas, kau bangun segala kemegahan, kau tumpuk gumpalan emas dan kau himpun seribu dayang menjadi budak yang melayanimu memakaikan baju, menyikat gigimu dan menceboki tinjamu. Tak kan ke mana engkau pergi kecuali menyerahkan dirimu kembali, terpaksa atau ikhlas, kepada asal usul yang sejati.

Juga apa pun saja yang kau pikir kau miliki: kekayaan, harta benda, kau tumpuk-tumpuk mereka hanya untuk satu tujuan: mereka meninggalkanmu atau engkau mendadak meninggalkan mereka. Kalau kau curi uang dan harta milyaran trilyunan itu untuk kau pergikan ke mana? Sebab setiap momentum pergi adalah kembali. Engkau mencuri sesuatu dari suatu tempat yang sertifikatnya milik Tuhan, engkau memindahkannya mentransfernya ke suatu tempat yang juga milik Tuhan.

Setiap tempat pergi adalah tempat kembali. Setiap barang yang kau curi tidak punya jalan lain kecuali kau setorkan kembali ke “Tukang Tadah Agung” yang sesungguhnya tidak menadahi apa-apa kecuali milik-Nya sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Sesungguh-sungguhnya kita dan apa saja adalah adalah hak-Nya dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.

Tak ada kekuasaan yang bisa benar-benar kau raih, karena menjelang engkau lahir tak kau setorkan apa-apa untuk saham rencana kelahiranmu. Jangan sekadar katakan bahwa kekuasaan hanyalah titipan: dirimu sendiri pun titipan. Karena engkau tak mampu menciptakan dirimu sendiri. Bahkan kedua orangtuamu tak bisa merancang panjang hidungmu, jenis rambutmu, apalagi tingkat kecerdasan pikiranmu.

Tak ada kemenangan yang sejati engkau raih. Karena setelah seorang petinju menjatuhkan lawan, tunggu sejam lagi dan pertarungkan mereka kembali: kemungkinannya bisa berbeda. Kemenangan berlaku sesaat, dan batal substansinya pada detik berikutnya. Indonesia menjadi Juara Dunia Demokrasi, memilih presiden langsung dengan rekor jumlah pemilih dan rekor keamanan kedamaian pemilu. Tetapi apa hasil dari puncak demokrasi itu hari ini? Bertanyalah kepada hati dan analisis akalmu, mintalah mereka berdua agar tak terkontaminasi oleh apa pun untuk jujur menjawab.

Maka salah satu impian saya adalah pada pemilu mendatang, semoga Allah menjadi pencoblos pertama. Semoga coblosan pertama itu adalah hidayah yang menggiring seluruh pemilih Nusantara “yadkhuluna fi dinillahi afwaja”, berduyun-duyun memasuki cakrawala kasih sayang Allah. Ratusan kali saya bertanya langsung kepada ribuan publik di hadapan forum saya di berbagai wilayah Indonesia: “Saudara-saudara dulu beramai-ramai memilih SBY karena ilmu pengetahuan tentang beliau atau berdasar sangka-sangka? Karena mengerti siapa beliau atau kira-kira?”

Demi Allah 100% mereka menjawab: “Kira-kira!”, “Dengar-dengar!”, “Kayaknya!”, “Kata teman-teman, kata tetangga”. Bangsa Indonesia tidak punya akses lebih dari 10% informasi tentang siapa-siapa tokoh nasionalnya. Andaikanpun ada cukup informasi, mereka juga tak cukup memiliki parameter untuk mengukur dan menilai. Rakyat Indonesia sama sekali belum memenuhi syarat untuk menjadi pelaku kecerdasan demokrasi kenegaraan mereka.

Masuk akal dari sudut itu pujangga Ronggowarsito menyebut kalau SBY adalah Satrio Pambuko Gerbang, kepemimpinan berikutnya, kalau Indonesia mau bangkit dari keterpurukan totalnya: sebaiknya mulai mudik, mulai pergi untuk kembali, mulai belajar memahami dimensi-dimensi nilai di balik idiom Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.

Sebagaimana dulu Gus Dur afdhal letakkan dirinya sebagai pada posisi “Sunan Ampel”, memimpin peralihan zaman, bukan sebagai “Raden Patah” yang raja. SBY juga pembuka gerbang: konsep kepemimpinannya membereskan segala sesuatu agar siap masuk gerbang milenium Nusantara Baru. Sebagaimana Thalut menyiapkan rakyat Yahudi menuju Era Daud, kebangunan yang sesungguhnya.

Buka saja dulu gerbangnya, segala yang tidur mulai dibangunkan, yang buntu coba dibor, yang jauh didekatkan, yang flu di-fresh-kan, yang macet dibukakan jalan. Untuk kebangkitan yang sesungguhnya diperlukan seorang pemimpin yang kesatria, menguasai peta masalah, jantan tegas, profesional, cakap manajemen. Satrio. Juga harus pinandito: memiliki kapasitas spiritual, aura, awu, wibawa, berani menindas dunia di dalam dirinya, ringan menepis nafsu keduniaan. Bahkan sinisihan wahyu: setiap langkah dan perilakunya relevan dan terbimbing oleh al-yad al-khair, tangan bajiknya Tuhan.

Gatra, 4 Oktober 2007

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang