Duri Serasa Roti

86 2 0
                                    

WAKTU kita masih remaja, ketika patah hati, makan terasa onak, minum terasa duri. Namun, kita menikmatinya dengan cara bersedih-sedih tanpa mau berhenti. Onak dan duri bisa kita nikmati, hingga akhirnya terasa bagaikan roti. Sesungguhnya, memang inilah kesaktian manusia di negeri ini.

Sebagai pekerja seni, saya sering diejek oleh teman-teman dengan menggunakan teori Karl Marx: Kesenian itu soal orang kaya yang sudah tak pusing soal sandang pangan papan. Kita bangsa Indonesia, mayoritasnya, masih bergelut mengurus makan-minum sehari-hari. Ndak ada waktu untuk ngurusi keindahan. Jangankan orang miskin, lha wong yang sudah kaya-raya saja masih tak berhenti bermain silat dengan uang terobosan, uang samberan, uang sunatan, uang "khitanan", uang talang bocor . . . .

Karena saya tak pernah belajar ilmu sosial, saya lawan tonjokan itu dengan ilmu katuranggan dan kasekten. Saya bilang, tipo-psikologis manusia Indonesia itu sama sekali berbeda dengan manusia non-Indonesia. Orang Filipina, meskipun tak begitu melarat, rumahnya pasti berantakan, karena tak punya energi untuk membangun keindahan. Tapi, orang Indonesia biar miskin kayak apa tetap saja estetis hidupnya. Dulu para gelandangan bikin rumah liar di tanah liar tepian Kali Code, Yogya, dengan tata etis yang amat diperhitungkan. Ada hiasan di gedheg-nya, ada pot bunga.

Estetika dinamik dan alkoholic musik dangdut makin laris karena makin banyak orang butuh pelepasan dan pelarian dari kemelaratan sosial-ekonomi pada rakyat umum maupun kemelaratan rohani eksistensial pada kelas berpunya.

Itulah salah satu dimensi katuranggan manusia kita. Pusing jangan lama-lama: bergoyanglah dangdut, sambil lirik-lirik siapa tahu ada kode nomor melintas di sebelah sana . . . Kalau pak mubalig bercerita tentang gajah, cepat temukan mistiknya. Kalau beliau marah dan mengacung-acungkan terompah, pasti angka terompahlah yang akan jooss pada Rabu malam. Sesekali, kalau rasa dosa sudah terlalu meningkat, datanglah berduyun-duyun ke pengajian Ustad Zainuddin, sekadar supaya rohani tidak terlalu sesak.

Katuranggan semacam itu menginfrastrukturi kasekten yang juga luar biasa. Cobalah buka-buka buku Indonesian Antrophopolitology yang belum pernah terbit dan bahkan belum pernah ditulis: engkau akan tahu bahwa kunci perubahan besar perpolitikan dan peradaban Indonesia tidak bisa engkau dapatkan di buku mana pun yang kini ada di perpustakaan dan di toko-toko. Segala persediaan kerangka ilmu ogah merasa pusing menyaksikan kasekten manusia Indonesia. Mereka itu sakti sebagai pribadi-pribadi, meskipun loyo sebagai masyarakat, dan lembek sebagai rakyat.

Bagaimana pribadi tidak sakti. Penderitaan macam apa pun bisa diatasi. Orang Indonesia tetap memelihara senyum manisnya pada kedalaman jurang kesengsaraan yang paling dahsyat pun. Orang Indonesia mampu mengantisipasi dan mentransendensikan setiap kesedihannya, kemudian menjelmakannya menjadi bukan kesedihan. Terkadang memakai kultur, di saat lain pakai dimensi tertentu dari agama.

Orang Indonesia bisa makan duri sambil mendengarkan pengumuman resmi: "Awas kalau Saudara-saudara sebangsa dan setanah air bilang-bilang bahwa Saudara makan duri!" Pada tahap berikutnya mereka juga dilarang mengatakan bahwa makan duri itu tidak enak. Mereka harus selalu berkata, terutama kepada orang luar negeri, bahwa makan duri itu enaknya bukan main. Sehingga, pada akhirnya mereka percaya bahwa duri memang enak serasa roti. Itu soal sugesti. Tak kenal maka tak sayang. Ala bisa karena biasa. Masuklah ke kampung Aborigin dan biasakanlah makan ulat. Dalam waktu beberapa minggu ulat akan serasa apem. Dan setelah beberapa bulan, engkau akan mengatakan kepada setiap tamu: "Ini bukan ulat. Ini apem".

Demikianlah juga pergaulan kita selama ini dengan ketidakenakan, kesengsaraan, ketidakbenaran, ketidakadilan, penyelewengan, korupsi, penyunatan uang birokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, serta apa pun yang kita gauli secara rutin sehari-hari seperti keringat kita sendiri.

Dengan metabolisme kultural dan pembiasaan sistem-sistem yang berlaku yang bisa kita atur bersama-sama sedemikian rupa, maka semua ulat bukan ulat lagi, melainkan apem. Kalau ada orang yang mengatakan itu sebenarnya ulat, tiba-tiba ia tampak sebagai orang jahat atau setidak-tidaknya orang gila. Kita sudah bebal. Dan kebebalan kita dewasa ini sudah sangat serius.

28 Juli 1991

- Kiai Sudrun Gugat -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang