SEGALA sesuatu gampang dimulai, kecuali cinta. Kalau mau cari ilmu, kita tinggal membuka buku. Kalau mau utang di bank, kita tinggal bawa jaminan. Mau bermain sepak bola, kita tinggal pakai sepatu dan turun ke lapangan. Tetapi akan memulai cinta, betapa sukarnya.
Itulah yang saya alami. Saya menulis tentang cinta, tapi hendak dimulai dari mana. Cinta itu makhluk Allah yang paling kudus. Apakah engkau mendatangi gadis yang engkau cintai dengan membawa seikat kembang dan ucapkan, "Aku cinta kepadamu"? Atau engkau memperhatikan apa yang diperlukan gadis itu, apa kesulitannya, dan engkau membantunya?
Jiwa saya tergetar oleh cinta itu, di Malang, hampir sebulan yang lalu. Sebelum saya bertugas maju ke forum, di sebuah pesantren khusyuk di tengah keramaian kota, saya mendengarkan ceramah seorang ustad yang menggetarkan hati saya. Ia dari Pasuruan, saya dari Jombang. Kami telah saling mengintip berabad-abad lamanya. Anda mungkin sudah tahu nama kiai nyentrik yang malam itu menggugat umat Islam, terutama para ulamanya: "Yang diperlukan sekarang bukan kepandaian menilai Muhammad, melainkan apakah engkau mencintai-Nya dan sungguh-sungguh mengikuti jalan yang ditempuh-Nya!"
Satu jam ia tampil, tidak untuk menggurui hadirin, melainkan menyulut api cinta mereka kepada Allah dan Rasulullah. Ia tidak berbicara kepada orang-orang di hadapannya, melainkan meratap kepada Allah dan rasul-Nya. Ia tidak menaburkan tabung-tabung ilmu pengetahuan, melainkan menghentakkan perasaan cintanya, kebahagiaan, kepedihan hatinya, serta keprihatinannya terhadap kehidupan yang makin jauh dari cinta kepada Allah dan Rasulullah.
Maka, yang kami dengarkan malam itu adalah puisi. Syair-syair spontan murni dan otentik dari lubuk jiwanya. Saya ini seorang penyair, tetapi kesanggupan puitik beliau malam itu melebihi Sutardji, Rendra, Taufiq, atau apalagi saya sendiri. Lompatan-lompatan idenya, pengembaraan batinnya yang terungkap, format retorikanya, disiplin bahasa dan kosakatanya, jika agak lebih dikristalisasi lagi, berada pada tingkat puitika Rumi atau Ibnu Arabi. Jauh melebihi Iqbal. Itu pun beliau bukannya membacakan apa yang telah dipersiapkan, melainkan melontarkannya secara spontan.
Saya juga punya pengalaman 15 tahun menjadi juri pementasan drama, dan saya tahu kemampuan ustad Pasuruan ini sama sekali tidak kalah dibanding dengan Amak Baldjun, Chaerul Umam, al-marhum Abdurrahman Nasution, atau apalagi sekadar Rendra. Berbagai macam jenis vokalnya, kesanggupannya menciptakan ragam nuansa, pengolahan nada irama dan momentumnya, bahkan olah progresinya, kepekaannya untuk menggenggam atau melemparkan perasaan orang sedemikian prima.
Bung Karno adalah orator ulung, namun beliau tak memiliki daya magi pada warna suaranya seperti ustad ini, apalagi kalau beliau sudah merintih-rintih bagai bayi di tengah tumpukan sampah abad ke-20: "Yaa nafsu laa taqnathii, min zallatin 'adzumaat . . ." menangisi perpecahan umat Islam yang tak ada habis-habisnya di tengah Jerman bersatu, ekonomi Eropa bersatu, kemunafikan Amerika Serikat, dan kekejaman Yahudi.
Ustad Zainuddin M.Z. yang kondang masih terlalu datar teaterikalisasinya dibanding dengan ustad ini. Apalagi kalau saya memutar kembali rekaman suara-suara saya di podium: terasa betapa tidak indahnya. Dengan logat setengah Madura setengah Jawa Timur, ustad ini mampu memberikan contoh artikulasi bahasa Indonesia yang sungguh tak bisa dibandingkan dengan medhok Jawa atau entengnya Sunda.
Jangan Anda salah paham. Saya bukan sedang memujanya. Saya bahkan banyak tidak setuju dengan beberapa simpulan pemikirannya, pengambilan sikapnya, atau dosis tematik yang dipilihnya untuk persoalan tertentu. Kalau Anda mendengarkan puisi beliau dengan kacamata seorang ilmuwan, Anda juga akan kecewa terhadap tidak sistematisnya ia mengemukakan substansi-substansi, termasuk juga kurang komprehensifnya ia menganalisis realitas. Bahkan kalau Anda seorang negarawan atau penggembala umat - atau sebut: penyangga arsy - Anda akan menilainya sebagai ustad yang tidak cukup arif, tidak moderat, dan mungkin kurang demokratis. Anda akan menyimpulkan bahwa ustad semacam ini hanya cocok untuk menjadi orator di medan perang. Akan tetapi, saya ajak Anda untuk bermata rangkap.
Alam semesta adalah sistem-sistem kerja sama, juga kehidupan dan kebudayaan manusia. Kita memerlukan batu untuk menegakkan dinding, tapi pada saat yang sama kita juga membutuhkan air, angin, cahaya, mega, atau seekor cacing. Kita memerlukan negarawan, politisi, birokrat, teknokrat, teknolog, ilmuwan, buruh dan petani, tukang kredit keliling, dan dukun bayi. Namun, kita juga membutuhkan pujangga, seniman, penyair, atau kiai dengan muatan puitika seorang pujangga - seperti ustad kita ini.
Tugasnya tidak menjelaskan secara ilmiah dan dingin tanpa emosi segala sesuatu yang harus di-jelentreh-kan (dijelaskan) kepada masyarakat. Tugasnya juga bukan menyusun kata-kata terbungkus seperti politisi di hadapan wartawan. Tugas ustad Pasuruan ini, bersama beribu-ribu pujangga kiai yang lain, ialah menyulut cinta, menggerakkan perasaan yang dimatikan oleh keringnya konvensi ilmu, membangkitkan jiwa yang dibunuh kemunafikan politik dan konsumtifisme dangkal kebudayaan.
Dan malam itu, bagaikan sedang mendengarkan gaung suara dari langit jauh, bagaikan sedang mendengarkan terompet para malaikat, tumpah ke dalam telinga sukma saya lagu-lagu duka ustad dari pesisir bang wetan ini, tentang umat yang tertidur dan penuh igauan dan tangis, tentang ulama yang kelu bisu dalam ketidaksanggupannya menjelaskan mana gelap mana terang. Menohok jiwa saya tangis beliau tentang betapa makin pandainya kita, namun betapa tidak makin baiknya perilaku kita. Betapa cantiknya pengetahuan kita tentang Rasulullah, namun betapa kita juga tidak makin sanggup untuk sungguh-sungguh mengikuti jejak perjuangan beliau. Kita memuji-muji Rasulullah, tapi kita tidak pernah serius memojokkan diri sendiri: Engkau ikut Muhammad atau tidak!
Ustad kita ini menangisi erosi akidah, tidak dengan cara mengakrobatkan ilmu pengetahuan, melainkan dengan membangkitkan rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah Muhammad SAW. Ustad kita ini meratapi SDSB, tidak berfungsinya ulama sebagaimana seharusnya, juga ketidakmampuan kaum muslimin mengantisipasi kewajiban-kewajiban jihadnya.
Sepanjang penampilannya, beliau hanya memanggil-manggil nama Allah dan Rasulullah: "Aku malu ya Rasulullah. Aku tidak mampu berbuat apa pun yang mampu menyelamatkan wajahku di hadapan-Mu. Aku malu tidak sanggup menyumbangkan gerak tanganku secara cukup berharga untuk sebegini banyak gejala kehidupan yang makar kepadamu. Aku malu, karena aku sudah terlanjur bersumpah inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillahi rabbil 'aalamiin . . ."
Beliau menangis. Mengguguk-guguk. Lama sekali. Podium terdiam. Forum terdiam. Dua ribu hadirin terdiam. Angin berhenti. Langit memucat. Seluruh alam meneteskan air matanya.
Saya terkesima. Apakah kita masih bisa menangis?
11 November 1990
- Kiai Sudrun Gugat -
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
DiversosSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...