bab 24: di tengah malam

10.6K 1.1K 3
                                    

Hari itu dingin, udara menancapkan banyak rasa sakit pada kulit semua orang. disebuah tempat yang sangat sunyi duduk seorang anak perempuan. Dia duduk di bawah pohon untuk waktu yang sangat lama, dari tundukan kepalanya semua yang melihat akan tahu bahwa anak itu tidak memiliki perasaan yang begitu baik.

sekarang, dia menatap kosong di bawah rumput sendirian.

Tidak jauh dari tempat dia duduk, ada sebuah pemakaman yang baru dilaksanakan. Acara belum selesai, seseorang yang meninggal hari ini, banyak mengundang duka pada semua penduduk desa yang ada di sana. Banyak orang yang berdatangan pada sesi penguburan itu. Banyak yang menangis tersedu-sedu.

tetapi gadis yang duduk tidak jauh dari sana, tidak menunjukan air mata sama sekali, dia hanya duduk, dengan tundukan kepalanya.

Tempat yang di datangi gadis itu adalah sebuah hutan yang berdekatan dengan pemakaman. Semak-semaknya cukup tinggi untuk menutupi gadis itu dari pandangan orang-orang yang sedang bersedih, meratapi kepergian orang yang meninggal hari ini.

Tak lama kemudian kepala gadis itu mendongak menatap langit. Hidungnya yang tinggi tetapi berukuran kecil, matanya menunjukan kehampaan, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Sesekali dia melihat penguburan yang ada tempat itu, setelah lama hanya menatap, satu air mata bergulir keluar, ditangannya dia membawa sekotak kecil berisi penumbuk berbentuk lonjong, daun sirih, dan beberapa buah biji pinang.

Gadis itu memeluk kotak kecil itu, sambil terus menatap proses pnguburan.

''nenek, aira telah mencari daun sirih dan biji pinang di hutan, aira mendapat banyak...'' dia berkata dengan lirih, matanya buram karna air mata yang tegenang disana sekarang. ''nenek tidak akan bangun dari sana? Nenek akan tidur disana sendirian, tidak ingin memeluk aira?''

Kata-katanya tidak keras sama sekali itu lebih seperti gumaman, air mata yang tergenang mengalir kebawah.

''nenek, aira salah.. Aira tidak akan banyak bermain lagi dengan evan, tidak akan sering berkeliaran dihutan, dan akan terus patuh di samping nenek''

Air matanya terus mengalir seperti awalan rintik-rintik hujan yang semakin deras.

''jangan meninggalkan aira sendirian nenek... nenek aira salah..''

Kata-katanya yang perlahan terus berubah menjadi lirihan yang sangat hilang. Suaranya seperti tangisan tertahan yang keluar.

Dia memandang ke kejauhan, melihat bahwa orang-orang telah pulang, dan peti yang tadi sudah terkubur jauh ke bawah tanah dia mulai bergerak, berdiri.

Perlahan-lahan dia menghampiri tempat itu. Melihat papan nama kuburan itu di kejauhan, sebuah nama jelas tertulis disana 'ratmi kartika'.

kakinya kaku, tetapi dipaksa terus berjalan menghampiri kuburan itu. Perlahan dia duduk di samping papan nama itu, tangannya gemetar menjangkau udara, ingin menyentuh papan nama bertulis itu.

Tangannya bergetar, menyentuh papan itu seperti sebuah kaca, takut dia akan retak. Sekelebat bayangan hadir di benaknya. Seorang nenek yang duduk di kursi tua di depan rumah gubuk sambil tersenyum kearahnya, seorang nenek yang memukulnya saat tengah malam dia pulang terlambat, seorang nenek yang selalu memasakkannya makanan enak, seorang nenek yang mengajari dia sepeda di siang dan pagi hari, seorang nenek yang mengomelinya dengan kata-kata panjang setiap hari awal dia bangun tidur sampai dia tidur lagi.

Air matanya mengalir ke kedua sisi, tanpa bisa di hentikan lagi.

Keadaan sekitar sangat tenang, hanya angin sepoi-sepoi sore yang menemaninya, dengan langit senja yang sebentar lagi akan datang. Dia duduk disana sendirian sampai hari kian redup.

AIRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang