Bab 4: Bibi yang baik

18.3K 2K 4
                                    

Suasana hati yang sangat cerah, membuat Aira membuka matanya dengan rasa bahagia, bahkan penampilan langit yang mendung dari balik jendela kamar tidak mampu mempengaruhinya.

Dia menggosokkan pipinya ke bantal berbulu yang lembut berulang-ulang kali, tak puas merasakan perasaan nyaman ini, kaki nya juga ikut menggosok-gosok seprei ke kanan dan kiri dengan sangat riang.

Menghela nafas.

Mimpi itu semakin jelas kalau itu memanglah nyata.

Tidak diragukan lagi dia harus mengubahnya, bagaimanapun juga yang bermasalah di mimpi itu hanyalah dia.

Aira memperhatikan pergelangan tangannya sendiri, melihat dengan seksama nadi yang ada disana.

Sekujur tubuhnya langsung bergidik ngeri.

Itu benar-benar menyakitkan!

Bagaimana dia bisa mempunyai keberanian sebesar itu.

Bulu kuduknya langsung merinding sekujur tubuh, saat membayangkan dirinya sendiri sedang menunggu kematian dalam genangan darah di bak mandi.

Air yang meluap-luap berwarna merah yang setiap saatnya semakin pekat menambah suasana suram dan mengundang malaikat pencabut nyawa untuk datang, dia semakin lemas saat darahnya semakin lama semakin habis.

Dan akhirnya dia mati.

Tujuan bodohnya, akhirnya tercapai.

Tapi.. dia sepertinya tidak sepenuhnya mati, dia hanya keluar dari tubuhnya, malaikat pencabutnya tidak mendatanginya sama sekali.

Dia menjadi bingung.

Lalu Aira melihat Erika dan ayahnya berteriak-teriak, menjerit-jerit panik memanggil ambulance, memperhatikan saat ayah gemetar membopong tubuhnya yang saat itu lemas dan membawanya keluar.

Tubuhnya sudah mengkerut, dengan memakai seragam sekolahnya yang lengkap yang sudah basah, bibirnya sudah membiru, dan wajahnya sangat pucat, tidak ada darah yang mengalir lagi.

Aira menggelengkan kepalanya dengan tak berdaya. Sepertinya dia memang benar-benar gila saat itu.

Dalam rentang waktu tiga tahun dia menjadi hantu dan mengetahui semua gambaran dirinya, Aira mengalami fase, dari ketidak percayaan, lalu penyesalan, dan penerimaan. Ditambah, ketidakberdayaan.

tok, tok, tok

Suara ketukan pintu, membuat Aira langsung terduduk panik di tempat tidurnya.

Diluar kamar, Erika mengetuk pintu dengan perlahan. Dia ragu-ragu untuk mengganggu anak nya dikamar, tetapi dia masih harus melakukannya, ''Aira, nak, teman ibu ada di bawah.. bisakah kau menemuinya sebentar, ada yang ingin kami bicarakan denganmu''

Aira cepat membuka pintu, saat mendengar suara Erika diluar.

Erika terkejut saat melihat rambut anak perempuannya sangat berantakan, lebih berantakan dibandingkan saat dia baru datang semalam, lalu kearah baju Aira yang belum diganti dan masih menggunakan pakaian yang sama.

Semalam, apakah dia tidak mandi, mungkinkah anaknya terlalu lelah dan langsung tertidur?

Dengan ragu-ragu Erika bertanya, ''Belum mandi?''

Aira melihat tatapan terkejut Erika. Dia lalu berkata dengan malu-malu. ''Aku semalam tertidur...'' bohong, jelas-jelas dia sangat takut masuk ke kamar mandinya sendiri. Aira melanjutkan dengan tenang. ''Sebentar lagi aku akan kebawah, bisakah ibu mengatakan pada teman ibu untuk menunggu sebentar?''

Kata-kata ibu membuat wajah Erika terpana, itu seperti kata-kata yang ditunggunya sejak lama, dan akhirnya dia tidak perlu menunggu lagi. Dia merasakan sebuah kelegaan yang sangat menyenangkan.

AIRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang