Bab 17: bom bunuh diri

15.7K 1.6K 20
                                    

Aira kesulitan membuka matanya sendiri.

Matanya menutup erat seperti dilumasi lem yang rekat, dengan sekuat tenaga dia berusaha membuka matanya dan dengan sekuat tenaga juga matanya sendiri menolak untuk bekerjasama.

Bola matanya bergerak-gerak karna usahanya. Dan dengan semua yang dia kerahkan akhirnya dia bisa membuka setengah, dia melihat samar-samar gambar buram, berkedip-kedip berharap melihat dengan lebih jelas dan lebih baik lagi.

Dia menatap kosong, pikirannya melayang jauh, warna putih memenuhi ruangan, dan saat dia melirik ke samping.

Suara jeritan Erika menyentaknya.
''Aira kau bangun?! Aldi dia bangun, dia bangun.. Anak kita sudah bangun!''

Erika berkata dengan panik, suara bercampur dengan kegembiraan, dan kelegaan.

Aldi yang berada di luar pintu bisa mendengar teriakkan itu, di membuka pintu dan menghampiri anak gadis nya yang telah lama tidur dengan tergesa-gesa.

''Aira, syukurlah.. syukurlah ya tuhann.." Aldi menggenggam tangan anak gadis nya, dan sesekali mencium nya.

Dia benar-benar takut, melihat anaknya tidak sadar dan terbaring di ranjang rumah sakit, dia ingin membunuh wanita gila itu, dan mengoyaknya menjadi beberapa bagian.

''kakak, kau bangun.. kakak benar-benar bangun..'' Rene, bocah kecil itu tanpa sadar meneteskan air matanya lagi dimatanya yang sudah bengkak dan sembab. Melihat kakaknya sadar, Dia sangat bahagia.

Apa yang terjadi?

Dia ingin menggapai anak imut itu yang sekarang berwajah sedih, tetapi masih tetap sangat lucu, dia ingin memeluknya dan mencubit pipinya, dan menanyakan kenapa dia menangis. Tetapi tangannya sangat berat, dan Aira tidak memiliki tenaga sama sekali. Tenggorokkannya sangat kering, dan dia sangat tidak nyaman.

Pintu terbuka lagi, dan menampakkan banyak orang yang masuk.

''Aira, kau bangun?! Syukurlah.. ya tuhan..'' Edgar yang baru memasuki ruangan, tidak bisa menahan perasaan bersyukur. Dia sudah mengunjungi rumah sakit selama beberapa hari ini, dan memperhatikan dia belum sadar.

''Aira.. Ini, kau benar-benar bangunn..''
Mawar bertanya untuk memastikan bahwa matanya tidak salah.

''Aira.. Apakah ada yang sakit dimana saja? Perutmu, apakah itu masih sakit?'' Remi sangat khawatir, dia masih terbayang dengan lukanya yang menumpahkan banyak darah.

Aira sama sekali tidak memperhatikan pertanyaan-pertanyaan mereka, dia hanya sangat ingin minum, karna tenggorokkannya sangat kering.

Dia dengan susah payah membuka mulutnya. "A.. air"

"Apa? Air.. baik. Air." erika mendengar permintaan anaknya karna dia yang berdiri paling dekat dengannya, bergegas memberi anaknya air yang terletak di meja samping ranjang, dan membantu, menompang anaknya dengan sangat berhat-hati, saat membatunya minum.

Perutnya sakit, terasa pedih, tetapi saat tenggorokkannya sedikit sejuk aira merasa sedikit nyaman.

Erika perlahan-lahan membaringkan tubuh anaknya kembali, dengan sangat berhati-hati.

mata aira tanpa sengaja melihat kehadiran di pintu masuk.

risma berdiri disana, dengan seorang lelaki paruh baya berpakaian jas biru gelap yang rapi.

Gadis yang berdiri di depan pintu itu, melihat bahwa dia telah terlihat. dengan gemetaran dia masuk dan berdiri di sisi ranjang, cara berjalannya sangat pelan, sangat bukan gaya berjalannya sama sekali.

Aira melihat risma dengan bingung.

Kenapa dia menatapku seperti itu?

''apakah kau.. baik-baik saja?"
Suara risma bergetar.

AIRA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang