Bab 98

360 72 9
                                    

Hello Sexy Readers,

Vote dan komen yang banyak.

So, enjoy.

♥♥♥

"Soto Lamongannya enak ya. Porsinya pas, nggak bikin begah," kata Widi sambil mengusap perut. Sepulang dari butik tadi, dia sengaja mampir ke warung soto yang lumayan ramai. Mobil berderet di pelataran yang sempit hingga memenuhi badan jalan. Ternyata rasanya memang sedap.

Cassandra tersenyum samar. Sungguh, dia tak berminat membahas dunia kuliner atau apa pun. Pikirannya melayang pada Lithania. Bagaimana keadaan anak itu? Apakah donor yang cocok sudah ditemukan? Apakah obat-obatan yang selama ini diberikan mampu menyembuhkan atau malah memperburuk keadaannya? Apakah Hamizan sanggup merawatnya?

"Lithania lagi?" tanya Widi. Semakin sering bersama Cassandra, dia semakin peka memahami suasana hati istrinya.

"Wajar kan seorang ibu mikirin anaknya?" Cassandra balik bertanya.

"Wajar sekali. Justru itu meyakinkanku memilihmu sebagai istri. Artinya kamu bukan ibu egois yang cuma memikirkan diri sendiri."

Waktu pertama jumpa di seminar IPFI, Widi mengagumi Cassandra. Istri seperti Mutiara yang ibu rumah tangga sejati, adalah idamannya. Muslimah yang baik tetap berada di rumah. Kalaupun mau ke luar, dia haruslah menutup aurat. Mutiara di akhir hidupnya menaati perintah agama. Di lain pihak Cassandra jauh dari kesan muslimah baik-baik. Paha dan dada diumbar ke mana-mana, berkeliaran ke luar rumah, mengurus bisnis dengan panuh ambisi dan bergairah. Sebuah anomali, tetapi Widi takjub dibuatnya, sama seperti Hamizan. Dia malah tidak yakin Cassandra dapat menajdi istri serta ibu yang baik. Namun bukankah Allah maha membolak-balikkan hati?

"Udahlah, beres-beres yuk." Cassandra memunguti piring kosong, menumpuknya, lalu menaruhnya di bak cuci piring.

Widi beranjak dari kursi, memeriksa apakah pagar dan pintu sudah terkunci. Pembagian tugas rumah tangga setelah menikah memang diperlukan. Widi tak mau mengekang Cassandra, memaksanya berdiam di rumah jika hanya menciptakan penderitaan. Banyak teman perempuannya yang dipaksa mengundurkan diri dari tempat kerja oleh suaminya akhirnya tekanan batin, depresi, suka marah atau menangis sendiri.

Widi ingat betul kata-kata Cassandra, "Perkawinan seharusnya menjadi sarana kebahagiaan dan ibadah, bukan sebuah sistem perbudakan maupun penjajahan. Jangan paksa aku menikah denganmu kalau kamu hanya mau menajdikanku tawanan. Aku tidak mau berhenti bekerja. Sebab kamu nggak akan selamanya denganku. Kalau bukan diambil Tuhan, pastinya diambil perempuan lain."

Lugas, berani, tanpa basa-basi. Widi terkaget-kaget saat itu, tetapi setuju untuk membiarkan Cassandra bebas mengejar mimpinya. Tidak adil jika dalam sebuah perkawinan perempuan lah yang harus menjadi tumbal, mengorbankan impian, pendidikan, bahkan pekerjaan.

Widi mengunci pintu yang terhubung dengan garasi. Semua aman. Tugas hari ini selesai. Ketika berbalik menuju dapur, nyaring benda pecah terdengar. Widi mempercepat langkah kakinya.

"Sorry," ucap Cassandra singkat ketika Widi tahu-tahu berdiri di sampingnya.

Sigap Widi mengambil sapu dan pengki. Cassandra bersandar di tepian bak, bergeming saat Widi menyapu kaca dari pecahan piring yang berhamburan di lantai. Mukanya memerah. Sudut bibirnya bergetar, kemudian jatuhlah air matanya.

"Tenang, Cas. Ini hanya piring. Lagian kita masih punya banyak," hibur Widi.

Namun, Cassandra menggeleng. "Feeling aku nggak enak, Wid. Aku harus ketemu Litha," ucapnya dengan suara serak.

Baru saja Widi mengunci semua pintu. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Dia ingin cepat tidur setelah pulang terlambat sebab menyelesaikan pekerjaan yang tertunda karena menemui Hamizan meskipun hasilnya nihil. Pria arogan yang keras kepala.

"Tapi ini sudah malam. Kita tunggu sampai besok."

Cassandra tak mau menunggu. Dia bergegas ke kamar, mengganti pakaian dengan celana jins dan blus merah muda. Diambilnya kunci mobil. "Aku harus pergi," katanya tanpa menoleh pada Widi.

"Kamu bisa telepon Hamizan untuk menanyakan keadaan Litha."

Cassandra menggeleng. "Ini hidup dan mati anakku, Wid. Aku harus pergi."

Widi tidak mengiakan, tidak pula melarang. Kalaupun melarang sudah pasti Cassandra tidak peduli. Maka, sekali lagi dia mengalah.

"Aku temani," ujar Widi sambil mengganti baju.

Cassandra menyerahkan kunci mobil pada suaminya. Selama perjalanan menuju rumah sakit, pikirannya tidak dapat tenang. Berkali-kali menelepon Hamizan, tetapi tidak ada jawaban. Karena tidak punya pilihan, Cassandra menelepon Dokter Munawar.

[Ibu Cassandra.]

"Dok, Litha gimana? Apa baik-baik saja?"

[Saya baru sampai rumah sakit. Litha ada di PICU. Menurut tim dokter, keadaannya kritis.]

Tangis Cassandra yang sejak tadi susah payah dia bendung kini tak tertahan. Dia tersedu sedan di samping Widi, menumpahkan segala kecamuk yang menyesaki hati. Seharusnya kemarin saat Hamizan membawa Litha ke rumah, dia rebut saja. Lihatlah akibat ketidak tegasannya sekarang.

Sesampainya mobil di rumah sakit, Cassandra berlari sekencang yang dia bisa. Sepertinya dia terlambat sebab wajah-wajah familier dari keluarga Parama memenuhi selasar, saling berbisik. Hamizan sendiri berdiri dikelilingi aki Ibrahim Parama. Fatma bercakap-cakap dengan ipar-iparnya.

Cassandra menyeruak kerumunan tanpa mengucap salam. Tujuannya datang ke sini bukan untuk berbasa-basi. "Ham, gimana keadaan Litha?"

Hamizan mendongak. Sorot mata itu demikian kelelahan dan kehilangan semangat. "Dokter lagi berusaha yang terbaik."

"Kenapa kamu nggak ngabarin aku kalau Litha kritis?" tuntut Cassandra emosi. Bagaimana bisa dia yang mengandung dan melahirkan Lithania malah tidak tahu apa-apa sementara keluarga besar yang lain sudah di sini.

"Pikiranku kalut, Ndra. Keluargaku datang juga karena Mama yang ngabarin mereka."

Cassandra muak mendengar semua kata-kata tak berguna Hamizan. Betapa bodoh dulu dia terlibat nafsu dengan laki-laki ini hingga kehilangan sahabat dan kini terancam kehilangan putrinya. Cassandra hanya dapat memandangi hiruk pikuk ruang PICU. Layar-layar monitor yang terhubung dengan tubuh mungil tak berdaya itu menunjukkan tanda vital Lithania. Para dokter berjaga di sana, memberikan perawatan intensif. Lithania sudah kehilangan kesadaran. Betapa riuh petugas medis menjaga nyala hidup, tetapi matanya tetap terpejam, dan tak menunjukkan gerakan. Cassandra tersedu. Bahunya berguncang. Hatinya bagai dirobek. Dia pasrah ketika Widi memeluknya dari belakang.

Pintu ruang PICU terbuka. Dokter Munawar muncul dari baliknya, kemudian melepas masker. Hamizan, Cassandra, serta keluarga Parama yang lain merapat.

"Lithania sudah meninggal, saya dan segenap tim dokter serta perawat turut berbela sungkawa." Dokter Munawar menerangkan.

♥♥♥

SEXY MISTRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang