CHAPTER 74

5.6K 533 25
                                    

"Mau gue telponin Kak Salsa?"

"Ja-jangan!"

Andin, dan Rafa menatap satu sama lain. Mereka menahan senyum.

"Kenapa?"

"Po-pokoknya gue mau menginap di sini."

Aldi merebahkan tubuhnya di sofa. Andin, dan Rafa melihat itu tersenyum geli.

****

"Ck! Ntuh orang pergi kemana sih?!"

Matanya terus melirik ponsel yang berada di atas meja. Ia sedang menantikan telepon seseorang, dan sialnya orang yang ia tunggu tidak meneleponnya. Hal itu membuatnya kesal.

"Ck." Aldi berdecak kembali. Ia berusaha memejamkan matanya, tetapi tetap tidak bisa.

Lagi, dan lagi ia melirik kembali ponselnya berharap seseorang yang ia tunggu meneleponnya, tetapi tetap saja orang yang ia tunggu tidak meneleponnya.

"Telepon aja. Tanyain lagi di mana? Nggak dosa kok Bang," sambar Andin dengan cepat. Ia gemas sendiri melihat kakaknya.

Tentu saja Andin tahu, bahwa kakaknya ini gengsi, dan ia juga tahu bahwa kakaknya ini memang menyukai istrinya. Dulu saja ketika pernikahan mereka ia menangkap basah kakaknya sedang memperhatikan Salsa yang sedang mengobrol bersama sahabatnya, Alvin. Kakaknya itu terlihat marah, dan cemburu.

Lalu, ketika Alvin mencium pipi istri kakaknya, Salsa. Semua orang yang berada di sana terkejut. Bagaimana tidak, Salsa sudah resmi menjadi istri kakaknya, tetapi Alvin, mencium Salsa di depan kakaknya tanpa ragu. Ia melihat kakaknya terlihat acuh, wajah memang bisa berbohong, tetapi hati tidak ada yang tahu.

Aldi dengan cepat bagun dari tiduran di sofa. Ia duduk menatap adiknya gugup. "A-apa maksud lo. Diam! Lo nggak tahu apa-apa. Ck!" ia berdecak di akhir ucapannya, dan menatap adiknya kesal.

"Gimana gue mau tahu permasalahan lo, lo aja nggak pernah cerita sama gue. Lo hanya cerita kepada Rafa, Kak Rama, dan Kak Sindy. Entah kenapa gue seperti orang asing." Andin tersenyum kecut.

Aldi yang awalnya kesal, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan adiknya.

"Gue ...."

"Hey ... Sudah, kamu ...."

Andin dengan cepat memegang tangan Rafa, untuk diam. Hal itu membuat Rafa terdiam, dan menatap kakak iparnya.

Ya, ia hanya tidak ingin mendengar ucapan Rafa untuk menghentikannya berbicara seperti itu kepada kakaknya, dan kakaknya Aldi, sebagai betul pembelaan baginya.

"Gue mau lo cerita juga sama gue, Bang. Jangan berpikir lo akan menyelesaikannya sendiri, dan takut gue sakit karena memikirkan masalah yang belum tentu masalah gue. Justru, dengan lo yang nggak cerita sama gue, gue menjadi semakin overthinking."

Andin menatap kakaknya sekilas. Tidak lama ia menatap Rafa, dan memegang pergelangannya. Ia mendongak. "Aku tidur duluan. Kalian pasti mau cerita, kan?"

"Heh! A-aku ..."

"Dek, gue ..."

Andin pergi begitu saja meninggalkan Rafa, dan Aldi tanpa menunggu penjelasan mereka. Ia merasa sedih. Saat ini ia hanya ingin sampai kamarnya, dan menumpahkan kesedihannya disana.

Ya, ia jelas tahu. Pasti kakaknya akan bercerita kepada Rafa tentang permasalahannya. Sementara dirinya kembali menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Ah, sial. Lo nggak boleh nangis. Hiks ... hiks ...."

Andin menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya dengan kasar yang di mana air matanya tiba-tiba turun membasahi pipinya.

My Perfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang