Andin melihat tangannya yang digenggam oleh Rafa menuju kelasnya. Ia juga kaget ketika Rafa menariknya dan membawanya pergi ketika Gladys datang. Di dalam hatinya ia juga merasa senang karena seperti biasa Rafa bersikap acuh dan menghindari gadis itu.
Entah kenapa ia juga merasa aneh dengan dirinya. Entah bagaimana ia merasa kesal ketika kedatangan Gladys. Dulu, ia merasa tidak perduli ketika Gladys mendekati Rafa, atau bahkan menempel seperti ulat, tetapi sekarang berbeda. Ketika Gladys hendak mendekati Rafa saja ia sudah mulai jengkel. Sepertinya ia memang sudah mencintai Rafa, kembali.
Kembali? Ya, ia memang dulu mencintai Rafa hanya saja ia selalu berkilah dan memendam perasaannya dalam-dalam dan menganggap Rafa sudah seperti saudaranya sendiri karena Rafa selalu ada untuk dirinya.
Perasaan yang dulu ia pendam dan ia kubur dalam-dalam meletup kembali ke permukaan. Bagaikan letusan gunung merapi yang larvanya berlumuran kemana-mana.
"Udah sana masuk, gue juga harus ke kelas," perintah Rafa kepada Andin sambil mengelus puncak kepala Andin begitu mereka sampai depan kelas.
Sebenarnya Rafa melakukan hal yang tidak biasa dia lakukan ke gue sadar nggak sih. Maksud gue, dia sadar, atau nggak dengan apa yang dia lakukan ke gue, batinnya.
Andin bertanya-tanya didalam hatinya sambil setia melihat Rafa yang masih mengelus puncak kepalanya.
"Hmm." Andin mengangguk tersenyum senang atas ucapan Rafa yang membuat Rafa tersenyum geli yang dimana ia masih mengelus puncak kepala Andin.
Andin mendongak. "Tapi Raf, tadi seharusnya lo nggak usah anterin gue ke kelas." Andin merasa tidak enak kepada Rafa.
Ya, semenjak kuliah Andin berusaha keras untuk tidak selalu bergantung kepada Rafa, karena sewaktu kecil hingga remaja Rafa selalu bersamanya dan menolongnya. Maka dari itu ia mencari pacar agar tidak selalu bergantung kepada Rafa, tetapi justru ia merasa tidak ada perubahan. Setelah berpacaran dengan Reza, masih tetap saja Rafa yang ia andalkan. Mungkin ia sudah terbiasa akan Rafa didekatnya.
Rafa menggelengkan kepalanya atas ucapan Andin. "Nggak apa-apa. Gue emang lagi menghindari Gladys. Gadis itu benar-benar gila. Ckk!"
Andin tertawa. "Bwahaha nggak pernah berubah. Pasti ada aja satu cewek sakit yang ngejar-ngejar lo dari dulu. Waktu SMA ada Mon..."
Andin yang awalnya tertawa menjadi diam atas ucapan terakhirnya. Bahkan ia sampai tidak menyebutkan nama Mona, tetapi ia menjedanya karena ia tidak sanggup menyebutkan nama gadis itu.
Rafa yang melihat perubahan Andin terdiam dan ia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Andin dalam diam.
"Ekhem," dehem Andin sambil membenarkan rambutnya gugup, "u-udah sana Raf, ke kelas lo. Nanti lo telat masuk karena kita beda gedung."
Andin berusaha mengusir Rafa dengan mendorong badannya untuk menjauh dan segera pergi dari kelas Andin, tetapi Rafa masih saja diam dan tidak ada niatan untuk pergi.
"Rafa..." panggil Andin.
Rafa berjalan ke arah Andin dan memeluknya erat sambil menaruh dagunya di bahu Andin. "Apa lo masih kepikiran tentang pertemuan kita dengan Mona di supermarket waktu itu?"
"Heh! Apa?" kerjap Andin, tetapi tidak lama ia dibuat panik atas perlakuan Rafa. Bagaimana tidak, kelasnya tidak jauh dari lift dan disana sedang banyak orang yang sedang mengantri untuk naik keatas dan lebih parahnya mereka melihat Andin dan Rafa yang sedang berpelukan.
"Ra-rafa... Malu, kita lagi di kampus sekarang." Andin berusaha melepaskan diri dari pelukan Rafa, tetapi Rafa justru semakin memeluknya erat.
"Lupakan semua tentang Mona karena gue nggak mau melihat lo sedih dan menangis lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomancePerjodohan yang sudah ada sejak lahir, sepasang sahabat menjodohkan anak mereka jika mereka sudah bertumbuh dewasa. "Senyum dikit kek kaku amat kek triplek," Andini Putri Hermawan. "Diam, atau lo mau gue cium," Rafa Fauzan Kamil. WARNING! 🚨 SUKA ME...