"Udah merasa baikan?" tanya Rafa kepada Andin, tetapi matanya fokus ke depan.
Rafa tidak bisa membayangkan sudah hampir satu jam Andin menangis bahkan lebih dan ia bernapas lega akhirnya Andin berhenti menangis.
Andin hanya menganggukkan kepalanya atas jawaban Rafa. Rafa masih mendengar sisa sesegukan Andin bekas menangis dan ia melihat mata Andin memerah dan sepertinya membengkak.
Srooot...
Rafa hanya menggelengkan kepalanya ketika Andin sedang mengeluarkan ingusnya menggunakan sapu tangan Rafa. Lalu ketika Andin mendongak dan ia melihat Rafa sedang memperhatikannya dan Andin hanya menyengir.
"Jorok," kata Rafa sambil menoyor dahi Andin yang membuat Andin cemberut sebal.
Mereka berdua sedang duduk di sebuah danau. Danau yang tempatnya tidak jauh dari kampus mereka. Rafa memang sengaja membawa Andin ke danau karena jika ia membawa ke taman sudah pasti mereka akan bertemu Reza karena Reza ingin bertemu Andin di sana.
Rafa awalnya ingin membawa Andin ke rooftop kampus. Namun ia ingat jika Andin takut ketinggian. Jadi, ia membawa Andin ke danau. Danau akan ramai disiang hari, ataupun di sore hari karena banyak mahasiswa yang berkumpul disini, selain taman.
Selama Andin menangis Rafa diam. Ia tidak menanyakan sesuatu, ia memberikan Andin ruang untuk menumpahkan kesedihannya. Setelah Andin merasa lega baru Rafa akan menanyakannya atau tidak Andin akan bercerita dengan sendirinya.
Mereka saling diam. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan terlebih dahulu. Mulut mereka seolah terkunci.
"Rafa, ma-"
"Hp lo dari tadi bunyi terus," kata Rafa.
"Hp lo juga," Andin mencemoh Rafa.
"Teman-teman kita pasti pada khawatir."
"Apa lo nggak ada keinginan untuk angkat telpon lo? Siapa tahu dari Reza." Andin hanya menggelengkan kepalanya.
Lagi, mereka kembali terdiam.
"Raf."
"Hmm."
"Maaf, hiks..." ucap Andin pelan, tetapi masih bisa terdengar oleh Rafa. Ia menunduk sambil memilin ujung bajunya.
Setelah cukup lama mereka terdiam. Akhirnya Andin membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Rafa masih diam, ia masih menatap air yang berada di depannya dengan tenang. Bahkan Rafa sesekali melempar batu kerikil ke dalam danau.
"Kenapa lo harus minta maaf?" ucap Rafa tenang.
"Gu...e merasa sudah egois selama ini."
"Akhirnya lo nyadar juga." Rafa menghela napas.
"Ra-rafa..." Andin mendongak. Ia melihat Rafa yang sedang fokus menatap air di danau. Rafa tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Andin rasa Rafa pintar sekali menyembunyikan ekspresi.
"Lo tahu menyembunyikan hal seperti ini sangat berat buat gue." Andin mengangguk mengerti atas ucapan Rafa.
"Gue tadi pengen membenarkan ucapan Brian bahwa ini cincin pernikahan, tapi..."
Rafa menjeda ucapannya dan menatap Andin. Tidak lama Rafa menatap kembali ke depan, yang di mana air danau di depan sangat tenang.
"Gue telan kembali ucapan gue ketika gue melihat ekspresi lo dan sepertinya lo belum siap makanya gue nggak bilang tadi."
Andin terdiam. Ia sudah menduganya bahwa Rafa memang sedari dulu ingin sekali memberitahukan ke keempat sahabat mereka, hanya saja Andin selalu melarang dan meminta Rafa untuk menunggu waktu yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomancePerjodohan yang sudah ada sejak lahir, sepasang sahabat menjodohkan anak mereka jika mereka sudah bertumbuh dewasa. "Senyum dikit kek kaku amat kek triplek," Andini Putri Hermawan. "Diam, atau lo mau gue cium," Rafa Fauzan Kamil. WARNING! 🚨 SUKA ME...