"Jadi pulang hari ini? Menginap saja ya?"
Lilis menatap anak, dan menantunya yang hendak pulang ke apartemen mereka. Sejujurnya ia menginginkan anak, dan menantunya itu untuk tetap di sini. Ketahuilah ia merasa kesepian. Setelah Andin, dan di susul Aldi menikah ia menjadi kesepian di rumah.
"Andin harus pulang, Bunda. Siapa tahu tadi nakal."
"Anak ini." Lilis memeluk lengan anaknya gemas yang membuat Andin tertawa.
"Sayang, Bunda." Andin memeluk ibunya yang membuat Lilis membalas pelukan anaknya tidak kalah erat.
"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, jangan kecapean. Ingat, kamu sedang berbadan dua sekarang. Pikirkan kesehatan kamu, dan cucu Bunda," nasihat Lilis lembut.
"Iya, Bunda." Andin mengangguk di dalam pelukan ibunya. Sementara Rian, dan Rafa tersenyum melihat itu.
"Nanti Ayah, dan Bunda jangan lupa main ke apartemen aku," kata Andin kepada kedua orang tuanya.
"Iya, sayang," jawab Lilis, dan Rian kompak.
Andin tersenyum. Lalu, setelah itu melepaskan pelukannya dari ibunya.
"Kalian hati-hati."
"Hmm." Andin, dan Rafa mengangguk. Setelah itu mereka menyalami kedua tangan Lilis, dan Rian.
"Mas, kita harus pamit dulu sama Mama, Papa." Andin mengernyitkan dahi ketika Rafa langsung membawanya masuk ke dalam mobil.
"Mama, dan Papa belum pulang. Mereka masih di apartemen Kak Rama," jawab Rafa sambil memasang sabuk pengaman untuk Andin.
"Oh ya aku lupa. Mama juga udah bilang waktu kita semua mau bandara tadi." Andin menyengir. Rafa yang mendengarnya menggelengkan kepalanya. Ia sudah terbiasa.
Ya, Andin baru ingat bahwa mertuanya itu memang sudah memberitunya bahwa hari ini akan pergi ke apartemen Rama, dan Sindy. Karena ingin melihat cucunya. Istrinya Rama memang sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah melahirkan, tetapi sekarang sedang masa pemulihan pasca melahirkan.
Andin membuka kaca jendela mobilnya. Ia melihat kedua orang tuanya masih setia menunggu di teras rumahnya. Andin tersenyum.
"Dadah Bun, Yah." Andin melambaikan tangannya kepada ibu, dan ayahnya.
"Dah, sayang." Lilis tersenyum. Ia melambaikan tangannya. Salah satu lengannya ia lingkarkan di lengan suaminya.
Setelah Rafa mengklakson mobilnya pertanda bahwa ia pamit. Ria mengangguk.
"Dulu mati-matian ingin menolak perjodohan. Bahkan sampai sakit juga. Sekarang kamu lihat kan, Mas. Mereka berdua sudah berubah. Nggak malu menunjukkan kemesraan mereka. Aku senang melihatnya," kata Lilis kepada suaminya sambil melihat mobil Rafa yang sudah pergi dari kediaman Hermawan.
"Hmm." Rian mengangguk setuju atas ucapan istrinya.
"Sekarang tinggal menunggu Aldi, dan Salsa, hihi." Lilis terkikik geli. Rian menggelengkan kepalanya.
"Bukankah mereka sudah akur?" Dahi Rian mengerti.
"Akur? Haha. Kamu sudah di tipu sama mereka." Lilis tertawa yang membuat Rian menghela. Bisa-bisanya ia di tipu. Ia pikir selama ini anaknya, dan menantunya sudah akur.
"Kamu tenang saja, Mas. Selama berbulan madu akan ada pertunjukan menarik yang menunggu mereka di sana. Haha." Ia tertawa ketika membayangkan ekspresi anak laki-lakinya, dan menantunya yang pasti akan membuat mereka terkejut.
Dahi Rian mengernyit. Lilis yang melihat itu tertawa. "Sudah, ayo, kita masuk." Lilis melingkarkan tanganya di lengan suaminya. Ia mengajak suaminya untuk masuk dalam rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomancePerjodohan yang sudah ada sejak lahir, sepasang sahabat menjodohkan anak mereka jika mereka sudah bertumbuh dewasa. "Senyum dikit kek kaku amat kek triplek," Andini Putri Hermawan. "Diam, atau lo mau gue cium," Rafa Fauzan Kamil. WARNING! 🚨 SUKA ME...