CHAPTER 83

5K 482 28
                                    

"Aku tanya sekali lagi, siapa yang kamu temui tadi? Aku-"

"Mas, aku lagi makan. Bisa kamu diam?" kata Andin cepat. Ia terlihat marah. Ia memotong ucapan Rafa.

"Ck!" decak Rafa. Sementara Brian hanya diam. Ia tidak ingin ikut campur. Jika boleh jujur, ia ingin pulang saat ini, dan tidak ada di sini melihat pertengkaran kedua sahabatnya.

****

"Brian, makan. Kenapa lo diam aja," kata Andin kepada Brian.

"Kamu juga makan," kata Andin kepada Rafa yang terdengar ketus. Rafa mendengarnya menghela napas. Walaupun agak kesal, tetapi ia tetap memakannya.

Brian terkejut. "Eh! A-pa? Gue pulang aja deh." Brian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ucapan Brian membuat Andin, dan Rafa terkejut.

"Makan. Bukannya tadi lo bilang belum makan juga kan?" Andin menatap Brian kesal. Ia tidak ingin sahabatnya itu pergi begitu saja tanpa menghabiskan gado-gadonya terlihat dahulu.

"I-iya, tapi gue rasanya pengen pulang! Gue nggak mau melihat lo berdua bertengkar di depan gue."

Setelah itu Brian makan dalam diam. Ia tidak mungkin juga mengucapkannya apa yang ia ucapkan di dalam hatinya.

Entah kenapa aura di sini benar-benar tidak enak. Brian menatap kedua sahabatnya yang sedang memakan gado-gado dalam diam. Sementara dirinya merasa tidak berselera. Seperti terasa ada yang mengganjal di dalam tenggorokannya.

"Lo ke rumah Abang Haji kenapa nggak bilang-bilang gue?" kata Rafa di sela makannya.

"Ngapain? Udah gue bilang. Gue cuman silaturahmi, nggak mondok. Ah, gue lupa, Abah Haji juga nanyain lo berdua. Lo berdua juga udah lama nggak main ke sana." Brian lupa mengatakannya ketika mereka bertelepon tadi siang.

"Iya, itu emang benar. Terakhir ketemu pas acara pernikahan gue. Sebenarnya gue juga udah lama nggak ke ponpes lagi," jelas Rafa. Ia melirik Andin yang tampak lahap memakan gado-gadonya.

Brian mendelik kesal. "Lo berdua nikah, tapi kita semua nggak ada satu pun yang diundang sama lo berdua."

Rafa terlihat menyesal. "Sorry, waktu itu kan sudah di jelasin juga kenapa alasan gue, dan Andin melakukan itu." Ia kembali melirik Andin yang tampak tidak perduli. Seperti biasa sepertinya Andin sibuk dengan makanannya. Rafa tersenyum.

"Jika mengingat itu bawaanya gue kesal juga, dan sialnya pada saat itu gue merasa bersalah karena sudah membuat Andin nangis. Ya, dia nangis nggak lam setelah gue tanya cincin di jari manis lo. Ck!

Rafa tertawa hanya tertawa atas ucapan Brian. "Andin menangis karena merasa bersalah sama gue karena udah menyembunyikan status pernikahan kita. Sebenarnya gue juga ingin memberitahukan kepada kalian semua, terapi Andin masih belum mengijinkan." Ia kembali melirik Andin, yang lagi, dan lagi tampak asik dengan makanannya.

"Alhasil, ketika lo tanya perihal cincin ini Andin menjadi nangis," kata Rafa tersenyum sambil menatap memainkan cincin pernikahannya di jari manisnya.

Brian ikut tersenyum.

Kini Rafa melirik Andin kembali. Ia melihat Andin yang terdiam. Tiba-tiba darahnya mendidih. "Tuh kan kamu itu sebenarnya ada apa? Siapa yang kamu temui tadi di depan?! Apa susahnya jujur sama aku!" Ia terlihat marah.

Padahal beberapa menit yang lalu Andin terlihat biasa saja. Ia tampak menikmati makanannya. Kenapa istrinya itu menjadi terdiam. Ia sangat tahu Andin tidak mungkin mendengar ucapannya barusan karena Andin akan lupa dengan segalanya jika sudah berhadapan dengan makanan.

My Perfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang