BAB (49) Speechless.

12 4 2
                                    

Dalam perjalanan ke toko kue Soo Ra, suasana di dalam mobil terasa tegang. Soo Ra menyentuh tangan In Yeop yang tampak terdiam, matanya penuh dengan kekhawatiran yang jelas.

"Fokuslah mengemudi! Aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali!" kata Soo Ra dengan nada tegas, mencoba menyembunyikan getaran emosinya.

In Yeop melirik Soo Ra, matanya penuh penyesalan.
"Aku sudah sangat keterlaluan kepadanya! Apa yang harus kulakukan?"

Soo Ra mengalihkan pandangannya, menatap jalanan yang gelap di depan mereka.
"Maafkan aku, ini semua karenaku. Tinggalkan aku di sini dan pergilah bersamanya."

In Yeop menggigit jarinya, lalu menggebrak kemudi dengan tangannya.
"Tidak bisa!" bentak In yeop, suaranya memecah keheningan di kesunyian malam.

Soo Ra berpura-pura mengusap matanya, seakan-akan mengeluarkan air mata. In Yeop melihatnya dan perasaan bersalah mulai menghantui pikirannya.

(⁠ノ⁠`⁠Д⁠´⁠)⁠ノ⁠彡

Setibanya di kediaman Manda, satpam membuka pintu gerbang dengan anggun. Aku memarkirkan kendaraan tersebut dan mengeluarkan koper Mama Papa dari bagasi belakang mobil.

Begitu keluar dari mobil, Mama dan Papa terkejut melihat kemegahan rumah yang Manda tempati.

"Pa! Ma! Ayo masuk, di luar sangat dingin," ujarku sambil menyeret kedua koper mereka ke dalam rumah.

Anin, yang mengetahui kedatangan kami, segera menghampiri dan menyambut dengan senyum lebar. Dia menyalami tangan kedua orang tuaku dengan ramah.
"Selamat datang Om! Tante! Silakan duduk, Anin akan buatkan minuman penyegar dan menyuguhkan makanan untuk kalian."

"Kau masak?" tanyaku heran pada Anin.

"Tentu saja! Mendengar kedatangan Om dan Tante, aku langsung membuatkan makanan untuk menyambut kalian," jawab Anin sambil tersenyum hangat ke arah orang tuaku.

"Kau sangat baik! Terima kasih, Anin!" puji Mama dengan tulus.

Dalam kekesalanku, tanpa banyak bicara, aku melemparkan tubuhku ke sofa panjang di ruang tamu. Dering panggilan berbunyi terus-menerus dari ponsel, namun ku abaikan. Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidak peduli, tetapi kecemburuan tetap menggerogoti pikiran ini.

"Ada apa, Nak? Dering panggilan ponselmu terus berbunyi, kenapa tidak menerimanya?" tanya Papa mendekat.

Aku membuka mata dan menatap Papa.
"Tidak, Pa. Panggilan ini tidak penting. Jadi, untuk apa Manda menerimanya?"

Mama duduk di dekatku, matanya penuh dengan perhatian.
"Nak, jika panggilan itu masuk berturut-turut tanpa henti, itu berarti ada hal yang penting. Jawablah."

Manda berdecak kesal sembari bangun dari rebahannya.
"Iya... Manda jawab panggilan ini dulu." Aku berjalan keluar rumah untuk menerima panggilan tersebut.

"Kau di mana? Aku dalam perjalanan menuju rumahmu dan membawakan ayam pesananmu," kata In Yeop di ujung telepon.

Aku pun seketika terkejut.
"Tidak!" jawabku spontan.
"Aku tidak menginginkannya lagi!"

"Kau marah?" tanya In Yeop, suaranya penuh kekhawatiran.

"Tidak, lebih baik kau pulang dan jangan kemari."

Klakson mobil terdengar dari arah luar pagar rumah. Aku terkejut sekaligus panik melihat kedatangan In Yeop.
"Kau!"

"Kita harus bicarakan ini," ujarnya dari telepon.

Aku menghela napas panjang.
"Aku bilang jangan datang kemari!" bentakku dengan suara pelan.

Satpam membuka pintu gerbang, dan In Yeop memasuki rumah dengan mobilnya, memarkirkan tepat di depanku. Dia keluar dari mobil dan menghampiri, berdiri tepat di hadapanku.

Quadrangle Romance: Mandalika한국아Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang