"Apa kau selalu seperti ini? Bebas tanpa pengawasan?! Hae rin, mendiang Ibu mungkin akan sangat kecewa dengan dirimu saat ini. Kakak merasa gagal dalam mendidikmu, mau jadi apa, hm?" Jae in menatap Adiknya dengan tajam, duduk di hadapan Hae rin yang terdiam tanpa melihatnya.
Tirai transparan di ruangan kosong, menembus sinar matahari senja, menerpa Kakak beradik itu dengan lembut.
"Kak, aku sudah dewasa... tidak seharusnya kau memarahiku seperti ini, itu menyebalkan." ucap Hae rin, menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan.
"Oh ya? Dewasa katamu?! Orang dewasa tidak akan membuang-buang waktunya untuk hal yang tidak penting!" Jae in mengeluarkan ponsel dari saku celananya, menunjukkan sesuatu yang mengejutkan Hae rin.
"Kau menghabiskan uang sebesar 100 juta Won dalam satu bulan terakhir?! Wah, Hae rin.. bisakah kau menjelaskannya?" lanjutnya geram, tatapannya semakin menakutkan, membuat ketegangan diantara mereka semakin menjadi.
"I-itu... Itu," gagap Hae rin, melihat dengan jelas gambar mutasi di ponsel Jae in.
Jae in menghela napas beratnya, mematikan ponsel dan berdiri tepat di hadapan Hae rin. "Kau harus merubah kebiasaan burukmu, ini adalah kesempatan terakhir, camkan dengan baik!" Jae in beranjak pergi, meninggalkan Hae rin seorang diri dalam frustasi.
***
Di kediaman keluarga Jang Hye min, suasana rumah di penuhi canda tawa saat menyantap makan malam sederhana. Asap daging panggang, mengudara di sekitar ruangan, menciptakan aroma lezat yang mengosongkan perut.
"Ayah, cobalah ini...," seru Hye min, memberikan potongan daging di mangkuk nasi sang Ayah.
Dalam kesederhanaannya, mereka tetap saling menjaga dan menyayangi, tidak terpecahkan oleh konflik-konflik ekonomi dan keluarga, bersatu dalam melalui berbagai rintangan dengan masalah yang silih berganti.
"Ayah, Ibu... besok Rii ki sudah akan kembali bekerja. Tetapi, sesuatu mengganjal dan ingin ku tanyakan kepada Ayah." Rii ki menatap Ayahnya yang terdiam, tangannya terlihat sedikit bergetar, menyimpan hal berat untuk di ungkap.
"Ayah baik-baik saja?" lanjutnya, memecah suasana.
"Nak, ini bukanlah waktu yang tepat...," sahut Ibu sembari memanggang daging di atas tungku.
"Siapa sebenarnya pemilik rumah itu?" tanya Rii ki dengan penasaran, tidak peduli dengan ujaran sang Ibu. Ayah menghela napas sebelum mengambil potongan daging di atas tungku dengan getaran tangan.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan soal itu, nikmatilah dan tidur lebih awal." sela Hye min sebelum memasukkan daging ke dalam mulutnya.
"Selama ini, Pria itu selalu mengurung diri, kondisinya sangat memprihatikan, seperti ada sesuatu yang menahan dirinya. Lalu... Beberapa minggu yang lalu, Seorang wanita bersama putri kecilnya datang dan menempati rumah itu, Pria itu bahkan mengizinkannya. Padahal selama ini, Rii ki tidak pernah melihat...," ucapan Rii ki terpotong saat Ayah-Nya kini berbicara.
"Pemilik rumah itu bernama Mandalika. Ayah harap pertanyaanmu yang mengganjal dapat terlepas. Jangan memperdulikan mereka, itu akan membuatmu jatuh ke dalam sebuah masalah." ujar Ayah, meletakkan sumpit di tangannya dan beranjak pergi ke arah luar rumah. Mereka terdiam, menatap kepergiannya.
"A-apa maksud Ayah di akhir kalimat?" gumam Rii ki, semakin membuatnya penasaran dan bingung dengan sikap aneh Ayah-Nya.
"Sudah, ayo cepat habiskan!" ujar Ibu, menetralkan suasana di antara mereka dan mendadak sunyi.
***
Di halaman rumah sederhana, di kursi kayu kokoh tempat Pak Security itu terbiasa menghabiskan waktunya. Tatapan kosong Pria paruh baya itu terlihat jelas, memikirkan suatu hal yang selama ini terpendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quadrangle Romance: Mandalika한국아
Teen FictionMandalika, gadis Indonesia dari keluarga berkecukupan, mengalami trauma masa kecil setelah diculik gurunya. Akibat dari penculikan tersebut, Ia terkurung selama bertahun-tahun lamanya. Tepat saat usianya memasuki 23 tahun, Mandalika dibebaskan, namu...