Tubuh kekarnya pun terbaring lemas, mata mereka terpejam dengan napas yang tidak beraturan. Sinar mentari pagi semakin jelas memasuki ruangan, menerangi wajah lelah mereka.
Beberapa saat kemudian, mata Lika terbuka dengan indah, menoleh ke arah Jae in yang baru saja keluar dari toilet, tubuhnya kembali bugar setelah mandi.
Lika yang tanpa busana kini semakin menarik selimutnya, merasa malu di hadapan Jae in.
"Queen sudah pergi bersama Hae rin, kau bisa melanjutkan tidurmu." ujarnya sembari melangkah menuju tempat penyimpanan baju di kamar tersebut.
Lika hanya terdiam, menatap kosong ke arah jendela, merasa kesal dengannya.
Jae in yang tak kunjung mendapati jawaban, berjalan menghampiri Lika dengan handuk yang melilit pinggangnya. "Ada apa?" tanyanya lembut, mengelus rambutnya yang terurai panjang.
"Aku ingin istirahat," ucap Lika tanpa melihatnya, memejamkan kedua matanya.
Terdengar helaan napas Jae in, menatap jendela di hadapannya. "Beberapa hari lagi, aku sudah akan kembali bertugas, kau harus bisa merawat dirimu sendiri saat aku sedang tidak berada disisimu."
Lika kembali membuka matanya, melihat Jae in di tepian ranjang. "Apa itu berarti kau akan menjadi sangat sibuk?"
"Tentu saja, bahkan aku sampai tidak pulang untuk satu bulan penuh." jawab Jae in tenang, tanpa melihatnya. Membuat Lika seketika terdiam dan sedikit merasa bersalah.
"Kau tidak perlu khawatir, aku tentu akan memberikan pelayan yang hanya menjagamu." ucap Jae in setelah menoleh ke arahnya, melihat wajah serius Lika.
"Lalu bagaimana dengan Queen?" tanya Lika dengan suara serak.
"Mm, bagaimana kalau menggunakan supir pribadi?" usul Jae in dengan alis terangkat.
Lika bangun dan bersandar di dipan ranjang sembari memegang selimut yang menutupi tubuhnya, pandangannya fokus ke arah Jae in.
"Itu mungkin akan menyulitkannya," ucap Lika tidak yakin.
"Lalu bagaimana, berikan aku saran yang tepat." pinta Jae in ramah.
"Apa Hae rin bisa membantu?" tanya Lika, ragu.
"Tidak bisa, dia sudah akan bekerja di perusahaan Ayah."
"Lalu siapa lagi kalau bukan aku?" Lika menunjuk dirinya dengan bingung.
"Aku tidak mengizinkannya," Jae in meraih ponsel di meja dekatnya.
"Mm, kenapa aku juga tidak memilikinya?" tanya Lika sembari menatap ponsel di tangan Jae in.
Jae in terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat untuknya. "Kesehatanmu akan terganggu jika menggunakannya, aku juga tidak menyarankan menggunakan Televisi."
"Itu terlalu berlebihan," gumam Lika.
"Aku rasa... aku sudah semakin membaik, bahkan akhir-akhir ini, sakit di kepalaku sudah tidak kambuh lagi. Dan...,""Jangan membantah," tukas Jae, beranjak dari hadapan Lika.
Lika bangkit dari ranjang, melilit tubuhnya dengan selimut, menghampiri Jae in yang berjalan ke arah tempat penyimpanan baju.
"Kau selalu seperti ini, kekhawatiranmu terlalu besar padaku." Sisa selimut di tubuhnya, menyapu lantai marmer yang mengkilap, mengikuti Jae in memasuki ruangan tersebut.
"Aku juga perlu menggunakannya," bujuknya tanpa melihat Jae in yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.Lika yang terus berjalan, tidak sengaja menabrak tubuh Jae in dan sedikit terpental, terkejut saat menyadari tatapannya yang begitu dalam.
"Ka-kau kenapa?" lirihnya, membalas tatapan Jae in.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quadrangle Romance: Mandalika한국아
Novela JuvenilMandalika, gadis Indonesia dari keluarga berkecukupan, mengalami trauma masa kecil setelah diculik gurunya. Akibat dari penculikan tersebut, Ia terkurung selama bertahun-tahun lamanya. Tepat saat usianya memasuki 23 tahun, Mandalika dibebaskan, namu...