Idk But It Happen

117 22 17
                                    

Halo kamu, hhe mau bilang, kalau dalam cerita ini ada unsur tidak nyambung, tidak masuk akal, atau apa pun, let me know, jangan segan-segan for comment down below, coz it means a lot for me :)

Ada satu hobi Abul tiap malam, selain belajar, kebiasaan lainnya adalah game. Duduk di depan laptop, berhadapan dengan layar selama berjam-jam dan jari jemarinya mulai mengetikkan untuk belajar atau bermain game. Tapi, hari ini ada hal lain yang menyelinap dalam pikirannya. Senyum yang diberikan Vanda, dan tatapan yang entah apa maksudnya. Abul menghela napas, dan menatap ponselnya dan segera meraih ponsel itu.

Oy,
Bentar lagi puasa, urang minta maaf kalau ada salah

Kening Vanda berkerut heran saat dilihatnya ada sebuah pesan dari Abul.

Read doang.

Tanpa sadar Vanda menggigit bibirnya bingung.
Akhirnya Vanda mengetikan sepatah kata. Ia mengirim ok.

Sementara di sudut lain Kota Bandung.

Tawa Febri meledak melihat saudaranya diam menunggu balasan pesan. "Sinting! Kurang kerjaan."
"Iya, sinting," Abul menjawab sambil menatap layar ponselnya sambil menegak air mineral.

"Maneh nggak usah mikirin cewek geura, sakola we yang bener." Abul tersedak, air yang baru saja ditelannya masuk ke dalam kerongkongan, mendadak seperti tersangkut. Laki-laki itu terbatuk. Ia tahu kakaknya itu punya tujuan baik, tapi bagaimana pun juga Abul bukanlah robot yang tidak bisa merasakan emosi dalam dirinya. Ia juga manusia yang ingin menikmati setiap perasaan yang ia rasakan.
"Gandeng! (Berisik)." kata Abul mendorong tubuh kakak perempuannya keluar kamar lalu mengunci pintu kamar.

Vanda menatap ponselnya dengan tatapan bingung, sampai sekarang Vanda masih kesal, gadis itu menggelengkan kepala, lalu memutar. Kepalanya melirik jam dinding, sekarang sudah tengah malam, ia bertanya-tanya mengapa Abul masih terjaga. Vanda bersiap untuk beristirahat. Ia masih memikirkan pesan singkat Abul, tapi hanya sedetik, karena selanjutnya dia malah jatuh tertidur.


-

Dalam mimpi Vanda selalu menjadi bocah perempuan berumur enam atau tujuh atau delapan, ia dan ibunya selalu bersembunyi dari seorang pria, tak yakin apa yang dia inginkan, mengapa dia mencari mereka, tapi Vanda tahu ia menginginkan sesuatu dari ibunya. Selalu ada ancaman, tapi itu hanya sekedar mimpi bukan ancaman.
Vanda terbangun, hanya mimpi.
Vanda tidak dapat tidur nyaman, ia masih merasa asing oleh kepergian ibunya. Sepanjang masa kecil dan kehidupannya sebagai remaja, ibunya telah memberikan kenangan dari hari ke hari.
Ia duduk dalam kegelapan di kursi berlengan dengan punggung berbentuk medalion, di depan salah satu jendela kamar tidur tamu, sambil menatap halaman dengan kebun mini dengan rumput hijau yang bersimbah sinar bulan. Dan di atas puncaknya bertebaran bintang-bintang serta bulan purnama putih.
Ayahnya tidur di kamar lain, di ujung koridor lantai satu, pasti nyenyak terlelap.
Deritan pintu terbuka terdengar, Vanda sedang menatap bintang, selalu terpukau sinarnya yang dingin sejak masih kecil.

Mula-mula deritan tertahan itu seolah berasal dari mimpi Vanda saat diperkebunan jagung, sepotong pertengkaran melengking dari rumah bergaya Belanda, bergema menyusuri waktu.

Deritan kedua, meskipun juga singkat dan hanya sedikit lebih keras daripada yang pertama, dan Vanda duduk tegak di kursi. Tegang. Dengan kepala miring. Mendengarkan. Ia terus menatap kegelapan malam, mengamati halaman dan jalan raya.

Gelombang yang ditimbulkan oleh angin mengalun di antara rimbunan pohon yang terkena sinar bulan, Vanda langsung bangun dan berdiri diam, memusatkan perhatian. Ia sulit membayangkan bahwa telah terjadi kekerasan.

Bagaimanapun, setelah jeritan-jeritan tertahan ayahnya dan debam pelan tadi, kini keheningan menyelimuti suasana.

Suasana sunyi ini sangat mencekam, terasa tak normal. Di bagian lain rumah ini, ada orang yang juga berdiri diam seperti Vanda, sewaspada dirinya, dengan cermat mendengarkan.

Orang yang berbahaya. Vanda dapat merasakan kehadiran pemangsa itu, perubahan tekanan di udara.

Dalam satu tingkat kesadaran, merasakan kesunyian membuatnya mempertanyakan tafsirannya sendiri terhadap suara-suara malam itu, dugaannya mengarah pada hal menakutkan, padahal mungkin saja suara-suara itu ternyata bukan apa-apa. Tapi ia harus mempercayai nalurinya.

Dengan pelan ia menjauhi kursi di depan jendela, bergerak menuju pintu. Meskipun sinar bulan tidak memancar masuk, matanya telah menyesuaikan diri dalam kegelapan selama setengah  jam duduk di ruangan gelap itu, dan kini ia merayap pelan tanpa khawatir menabrak mebel.

Ia baru separo jalan menuju pintu ketika mendengar langkah yang mendekat di koridor lantai dua. Langkah berat yang terasa asing di rumah ini. Vanda dengan cepat mundur ke arah ranjang. Ia lalu berlutut.

Di pojok koridor, langkah kaki itu berhenti.

Sebuah pintu membuka. Bunyi gagang pintu yang diputar, gesekan selot yang tak ditutup, derit tajam engsel yang tak diminyaki, semua itu hanya bunyi, tidak berkesan tenang ataupun marah.

Dengan perut menempel ke karpet, ia merayap ke bawah ranjang. Ranjang itu merupakan mebel anggun dengan kaki kokoh, dan untungnya tidak terlalu rendah seperti kebanyakan tempat tidur lain.

Kembali terdengar langkah kaki di koridor. Sebuah pintu membuka. Tepat di seberang kaki ranjang. Ada yang menyalakan lampu.

Vanda berbaring dengan kepala menghadap ke satu sisi, telinga kanannya menempel pada karpet.
Ketika mengintip dari bawah ranjang, ia dapat melihat bot hitam laki-laki dan kaki sebatas betis terbalut blue jeans.

laki-laki itu berdiri di ambang pintu, rupanya sedang mengamati kamar ini.
Lalu, tepat di depan bot hitam itu, sebutir cairan merah kental, lalu sebutir lagi, dan ketiga kalinya, menetes ke atas karpet.

Ia menahan siksaan kecoak, supaya terhindar dari siksaan pria asing itu, sambil merapatkan gigi menahan teriakan, mati-matian berdoa supaya Tuhan menyelematkannya.

Dengan setengah histeris Vanda membayangkan ketika pria itu mengintip ke bawah ranjang, berhadapan muka dengannya.

Tetapi pria itu berlalu pergi, setelah setengah jam meringkuk di bawah ranjang, Vanda mengendap-endap melewati koridor dan merayap masuk ke kamar ayahnya.

Kamar ayahnya lumayan luas. Kedua meja kecil yang mengapit tempat tidur dihiasi lampu berbentuk guci dengan pola kuning kemerahan, salah satu lampu itu menyala, garis-garis dan titik -titik merah menghiasi tudungnya.

Vanda berteriak histeris.

~

Dering bel berbunyi. Tapi, Abul masih tertidur di kamarnya. Ia teringat akan ulangan Matematika dan langsung bangkit dari tidurnya berlari kearah kamar mandi.

Pak Suyadi adalah satu-satunya guru yang Abul sukai.

Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang