Hujan rintik-rintik menemani langkah Vanda.
Vanda pulang lebih cepat hari ini. Baru saja selangkah masuk ke rumah, tiba-tiba gadis itu terdiam, membeku di tempat begitu mendengar suara bantingan piring dari dalam rumahnya.
Bukan sekadar bantingan piring tapi kenangan yang berhasil membangkitkan sedikit demi sedikit kepingan kenangan yang susah payah Vanda lupakan dengan mulai belajar sesuatu yang ia suka dan mulai membuka hati untuk seseorang, cukup membuat Vanda tidak larut dalam sedih.
Vanda terlihat kalut sampai akhirnya dia berjalan untuk segera masuk ke kamar, dilihatnya seorang lelaki paruh baya duduk di depan tantenya, hanya sekedar punggung.
"Biasanya, saya kurung sebelum dipotong, tapi karena," Nada dinginnya membuat Vanda yang sekilas mendengar terkejut. Paman itu menghentikan obrolannya
"Udah dateng, Nak?" Perempuan itu tersenyum semringah, "Udah ditungguin dari tadi, katanya kalian mau ke rumah nenek, minggu malam aja pulangnya."
"Dia siapa, Tante?" Tanya Vanda dengan nada dingin, perempuan itu lantas dengan kasar menarik lengan Vanda menaiki tangga menuju lantai dua untuk masuk kamar secara paksa, Vanda terlihat kaget tapi dia tetap diam saja, perempuan itu hanya menatap Vanda lurus-lurus.
"Kamu nggak diajarin Ayah kamu manner, ya? Kalau ngomong sama orang yang lebih tua itu harus sopan, meskipun dia petani."
Jawaban yang kontan membuat Vanda berubah bisu dalam sedetik. Dan hanya keheningan yang menguasai keduanya. Vanda melihat telapak tangan perempuan itu terkepal tanpa sadar.
"Iya, Tante." Vanda mengangguk.
" Yuk langsung ke Ciwidey sekarang." ucap sepupunya sambil membawa ketoprak ditangannya.
Beruntungnya ponselnya berbunyi, "Vanda angkat telepon bentar, Tante," ucapnya pelan sambil berjalan menuju balkon kamar. Vanda duduk di depan jendela kamarnya.
"Halo,Bul." jawabnya, ada getaran dalam suara samarnya.
Suara Jo terdengar serak, seperti ada sesuatu yang menggantung di ujung kerongkongannya. "Ini urang, Van."
"Becanda Jo.. Kamu di mana? .. ." ucap Vanda yang sebenarnya tak serius ingin tahu.
Jo hanya memejamkan mata, menikmati alunan musik di Provokator, untuk sejenak memberikan rasa tenang ditemani suara lembut Vanda dari balik telepon. Entah kenapa Jo merindukan momen seperti ini.
"Urang di Provokator, lagi makan bentar sama temen. Mau urang bawain roti bakar ?"
"Engga usah Jo, aku mau ke Ciwidey tempat Nenek."
"Ya udah, malam urang telepon lagi, kamu istirahat, ya?"
"Iya." tak lama sambungan terputus.
.
.
.Vanda ingin semuanya kembali seperti yang lalu, sebelum hidupnya terasa sepi karena tidak ada orang tua, tawa demi tawa dan harapan yang dirajut bersama dalam rumah mereka. Jeweran Ayahnya saat Vanda ketahuan mengirim dengan seseorang saat di Kalimantan dulu. Masih terasa segar diingatan bagaimana setiap rangkaian kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya.
"Van, berangkat, yuk?" sepupu laki-lakinya muncul dari balik pintu.
"Di luar hujan deres," ucap Vanda.
"Kita naik mobil,"
"Engga mau, Ibu aku kecelakaan waktu hujan deras," ucap Vanda sensi.
Yogi meringis," Iya. Ya udah makan dulu, lu kelihatan kurus gitu kayak nenek-nenek."
Yogi meletakkan nampan di balkon, Vanda segera melahap makanan di depannya. Setelah menyelesaikan makanannya, Vanda bangkit dari kursi, mendorong Yogi keluar dari kamarnya.
"Gua masih mau duduk di sini."
"Mau ganti baju keluar bentar!"
"Bodo amat,"
Tatapan Vanda berhenti begitu dilihatnya Yogi tengah berpikir sesuatu, Vanda mengalah dan segera berbalik dan turun menuju lantai pertama untuk ganti baju di kamar mandi bawah.
"Nggak usah khawatir, nanti saya transfer," suara perempuan dan lelaki paruh baya itu sekilas terdengar oleh Vanda yang mencoba berpikir positiv.
Terima kasih G-Mart wifinya, sehingga duafa kuota sepertiku bisa publish a part of story, semoga kalian belum bosan dengan cerita ini, ayee
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Crush, Less Stress
No Ficcióngadis yang tengah berenang di dalamnya lautan perasaan.