Our Mood

40 11 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Vanda berjalan melewati lorong menuju kamarnya setelah pulang dari tempat les. Gadis itu melangkah sambil mengecek fitur messege di ponselnya, kalau-kalau Lala saudaranya membalas pesan singkatnya, dan langkah Vanda mendadak terhenti di tengah-tengah, dilihatnya seorang perempuan muncul tepat di depannya, menghalangi Vanda yang ingin ke kamar.

"Diperhatiin malah nggak tau diri, ya."

"Maksudnya Tante?" Vanda menatap bingung.

"Tante masakin kamu sarapan, makan siang, malam, kamu malah ngelapor ke kakakmu kalau uang jajannya kurang, kalau kurang ya ngomong!" ucapnya menatap Vanda tajam. 

"Iya Tante, aku nggak berani," 

"Sini kamu," ditariknya lengan Vanda lalu didorongnya tubuh Vanda sampai punggungnya membentur dinding.

Vanda menelan ludah, kakinya mundur selangkah tapi tangan perempuan itu merampas ponsel dari tangan Vanda dan membukanya.

"Tante, udah, maafin aku, " rengek Vanda. Yogi segera mencengkeram tangan Mamanya erat-erat.

"Emang salah ya, kalau dia cerita sama kakaknya?" tanyanya gamang.

Tubuh Vanda makin ciut, mau menangis tidak mungkin.

"Mau mama apa, sih?!"

Vanda menatap Tantenya tajam, sadar bahwa dirinya punya hak untuk marah diperlakukan kasar.

Sebuah tamparan mendarat di pipi Vanda sampai kepalanya terhuyung ke kanan, pipinya terasa panas dan gatal di waktu bersamaan.

"Ma, sadar, Ma!" Yogi segera menahan bahu Mamanya supaya tenang.

"Ini anak yatim-piatu harus dikasih pelajaran biar bisa jaga mulut!" tercetak seculas senyum  di ujung bibir perempuan itu.   Mata Vanda sudah memerah ketakutan.

Perempuan itu mengangkat tangannya dan kembali melempari Vanda dengan ponsel di tangannya, ponsel itu  benar-benar mendarat dengan sempurna di kepala Vanda.  Lemparan itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga sakit.

Sebuah tamparan hendak melayang lagi.

Seketika mata Vanda tertegun begitu dilihatnya siapa yang muncul dan mencengkeram tangannya.

"Ikut urang!" Tanpa meminta persetujuan, ditariknya tangan Vanda secara paksa, sampai Vanda tersaruk-saruk mengikuti langkahnya.

Tatapan perempuan itu tertuju pada laki-laki tegap dan jangkung yang kini membawa Vanda, tapi ia tidak berani bersuara.

Ternyata laki-laki itu membawanya ke Taman Musik depan sekolah yang kini sudah jarang terlihat siswa-siswi.

Vanda meringis kesakitan, mengusap pipinya yang mendadak nyeri. Tangan Abul terkepal di samping tubuhnya sampai jemarinya memucat, tidak menyangka Vanda mendapat perlakuan kasar dari Tantenya sendiri.

"Aku yang salah, sih." Ucap Vanda membuka percakapan.

"Siapa yang nyuruh kamu bohong?"

"Aku nggak bohong, Bul!"

"Kamu kira urang percaya?"

Vanda menarik napas panjang.

" .. Kesannya aku enggak dikasih uang jajan, cuman kadang aku juga pengen nongkrong bareng Enur, Jo, kamu. Selama ini Jo terus yang bayarin kalau aku makan, aku nggak enak, Bul." Vanda nyaris menangis tapi ditahannya, bukan karena nyeri di pipinya.

Abul terdiam melihat reaksi Vanda, laki-laki itu merangkulnya. Vanda masih menundukkan kepalanya menatap sepatunya.

"Tolong lepasin, Bul," pinta Vanda. Vanda berusaha menepis lengan Abul. "Nanti Jo,"

Vanda tak melanjutkan kata-katanya.

"Urang sayang kamu, kamu mau apa?" balas Abul telak! 

Vanda membeku. Tangannya yang semula memberontak mendadak terdiam dan berhenti bergerak, tapi ekspresinya menggambarkan perasaan Vanda saat ini, ia butuh pundak untuk mengeluh.

"Siapa yang nanya perasaan kamu, Bul. Aku udah tau,"

Abul memajukan wajahnya sampai Vanda menahan napas saat wajah itu tepat di depan mata.

"Kalau ada masalah, jangan ragu cerita sama urang, urang baik Van," suara Abul terdengar santai, sementara Vanda diam tanpa suara.

"Kamu kenapa ke rumah tadi?"

"Buku kamu ketinggalan di Warlap,"

Abul mengeluarkan kunci motor dari kantong seragam sekolahnya.  

"Gimana kalau urang anter ke rumah Enur?"

Kepala Vanda yang tadi tertunduk segera terangkat, menatap Abul bingung.

Dua-duanya sama-sama diam dalam keheningan.

"Atau mau nginap di rumah urang?"  Alis laki-laki itu terangkat sebelah, seakan sahutan penuh godaan memecah keheningan diantara mereka.

"Dasar kamu, Bul!" Vanda justru menggelengkan kepala melihat Abul menggodanya. 

mereka bangkit lalu bergegas menuju motor Abul.

Abul menatap Vanda sekilas lalu segera menaiki motornya yang diparkirkan di pinggir taman. Abul menghidupkan mesin.

Vanda segera naik ke motor itu. 

"Pegangan biar nggak melayang."
Vanda menurut saja.

Abul memakai helmnya. Lalu motor itu melaju meninggalkan Taman Musik.

"Makasih," lirihnya serak dalam angin yang menerpa wajahnya.

Abul melirik Vanda yang berada di belakang punggungnya. Cengkeraman Vanda di bahu Abul semakin erat. Abul tersenyum kecil.

Beberapa menit kemudian.

Abul melambatkan laju motornya.

"Jauh juga ternyata Cimahi," komentar Abul. Motor Abul berhenti di depan gerbang Enur. Saat motor sudah berhenti, Vanda segera turun dari motor Abul.

Abul mencoba menelpon Enur, tetapi Enur telah keluar dari rumahnya dan segera menghampiri Abul dan Vanda.

"Ya Allah, Van!" ditahannya tangan kanan Vanda yang menyembunyikan cetakan tangan yang membekas di pipinya.

"Iya, aku nginep di sini, ya." Enur mengangguk cepat.

"Masuk dulu, Bul."

"Enggak, Nur. Urang titip Vanda, ya." 

"Oh iya."

"Hati-hati  Abul. Jangan ngebut." Sahut Vanda sambil tersenyum lembut.

Abul hanya mengangguk.

Dihidupkan mesin motornya, motor itu memutar balik hingga akhirnya hilang dari kejauhan. 



Less Crush, Less StressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang